Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

UU ASN Atur TNI Aktif Jadi Pejabat Sipil, Wajah Baru Dwifungsi ABRI?

UU ASN memberikan ruang kepada ASN dan militer untuk bertukar posisi jabatan.
Sejumlah prajurit berbaris dalam gladi bersih Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Lapangan Silang Monumen Nasional (Monas), Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (3/10/2023). Gladi bersih yang diikuti 4.630 personel dan 130 alutsista dari tiga matra TNI tersebut digelar untuk persiapan HUT TNI pada Kamis (5/10). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/YU
Sejumlah prajurit berbaris dalam gladi bersih Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Lapangan Silang Monumen Nasional (Monas), Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (3/10/2023). Gladi bersih yang diikuti 4.630 personel dan 130 alutsista dari tiga matra TNI tersebut digelar untuk persiapan HUT TNI pada Kamis (5/10). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/YU

Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Undang-undang No.20/2023. Salah satu substansi penting dalam undang-undang ini adalah klausul mengenai prajurit TNI dan Polri yang bisa mengisi jabatan sipil meski statusnya masih sebagai prajurit aktif.

Klausul itu tercantum dalam Pasal 19 ayat 2 huruf a dan b, yang secara eksplisit menekankan bahwa prajurit TNI dan Polri bisa mengisi jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) tertentu. Tidak ada penjelasan mendetail mengenai definisi atau arti dari jabatan tertentu tersebut.

Beleid baru yang banyak disorot publik itu, hanya menjelaskan bahwa pengisian jabatan tertentu oleh TNI dan Polri akan mengacu kepada UU No.34/2004 tentang TNI dan UU No.2/2002 tentang Polri. Sementara itu, ketentuan maupun tata cara pengisian jabatan ASN tertentu oleh TNI/Polri akan diatur dalam Peraturan Pemerintah atau PP.

Di sisi lain, Pasal 20 UU ASN juga memberikan kesempatan bagi pegawai ASN untuk menduduki jabatan di lingkungan TNI Polri. Sama dengan ketentuan dalam Pasal 19, mekanisme pengisian jabatan sipil di lingkungan militer maupun kepolisian, akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pemerintah dalam bagian penjelasan pasal 19 maupun 20 menekankan bahwa pengisian jabatan TNI dan Polri di institusi sipil maupun sebaliknya bertujuan agar ASN, prajurit TNI dan Polri memiliki keseimbangan dan kesetaraan dalam pengembangan kariernya berdasarkan Sistem Merit.

Aturan di UU TNI

Adapun UU TNI telah mengatur secara tegas bahwa prajurit TNI aktif dilarang untuk menduduki jabatan sipil. Pasal 47 UU TNI, misalnya, mengatur prajurit atau siapun yang berasal dari rumpun militer hanya bisa menjadi pejabat sipil jika mengundurkan diri atau memasuki masa purna tugas dari dinas kemiliteran.

Kendati demikian, beleid tentang TNI juga memberikan relaksasi, bahwa prajurit TNI tetap bisa menduduki jabatan sipil namun terbatas.

Jabatan sipil yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif antara lain pejabat di kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

Penjelasan mengenai Pasal 47 dalam UU TNI itu jelas memberikan batasan mengenai jabatan sipil yang bisa diduduki oleh prajurit TNI aktif. Itu artinya, jika UU ASN yang baru secara eksplisit merujuk kepada UU TNI, praktis tidak ada tambahan posisi maupun jabatan sipil yang bisa diduduki oleh TNI aktif, kecuali dalam rumusan PP sebagai turunan UU ASN ada redefinisi atau penjelasan lain tentang frasa ’jabatan tertentu’.

Selain itu, UU TNI sejatinya juga telah secara eksplisit mengatur mengenai pegawai non militer untuk mengisi jabatan di lingkungan TNI. Hanya saja, mekanismenya tergantung keputusan Panglima TNI. Ini artinya jika mengacu kepada UU ASN yang baru, keputusan Panglima TNI untuk menunjuk PNS menduduki jabatan di lingkungan militer tak lagi berlaku, karena pengaturannya akan dilakukan melalui PP.

Dwifungsi TNI?

Pembatasan jabatan militer ke sipil sejatinya merupakan buah dari reformasi. Salah satu tuntutan reformasi pada 1998 adalah penghapusan Dwifungsi ABRI. Dwifungsi ABRI adalah salah satu doktrin militer yang telah hidup sejak era Bung Karno dan menjadi kekuatan mapan pada era rezim Suharto. Pelopor Dwifungsi ABRI atau militer adalah Jenderal AH Nasution.

Harold Crouch (1999) dalam buku Militer dan Politik di Indonesia menulis bahwa hubungan militer dan politik tidak pernah dipisahkan di Indonesia. Dia mengatakan bahwa pada masa revolusi kemerdekaan yang  berlangsung dari 1945-1949, tentara terlibat aktif dalam tindakan politik maupun militer.

“Tiadanya tradisi yang apolitis di kalangan tentara lebih memudahkan memainkan pemimpin tentara memainkan peran mereka semacam revolusi,“ tulis Crouch.

Tentara kemudian berperan dalam banyak bidang. Di bidang ekonomi, banyak perwira militer yang berperan di sana. Tentara pada era demokrasi liberal, juga memiliki wadah politik termasuk memiliki hak suara dalam Pemilu 1955. Pada perkembangannya, terutama setelah penerapan Demokrasi Terpimpin pada 1959, tentara menjadi kekuatan penyeimbang di pemerintahan.

Tentara menjadi lawan kubu kiri yakni komunis (PKI) dalam tarik menarik pengaruh kepentingan, khususnya di lingkaran kekuasaan Sukarno. Peristiwa G30S 1965, yang ditandai oleh tindakan pasukan pengaman presiden alias Cakrabirawa menuculik dan membunuh jenderal-jenderal Angkatan Darat, membalikkan keadaan.

Kubu komunis kemudian terpental dari lingkaran kekuasaan. Elite-elitenya dibabar habis. Pengikutnya diburu dan dibantai oleh gelombang ’serangan balasan’ milisi dan militer secara langsung. Peneliti asal Australia Robert Crib menulis bahwa, jumlah korban tewas beragam, namun angka paling optimistis ada di angka 1 juta orang.

Setelah 1965, militer berhasil menguasai keadaan. Mereka mengendalikan kehidupan masyarakat sipil. Wacana atau diskursus dibatasi. Suharto, jenderal AD yang pada waktu itu menjabat sebagai Pangkostrad, naik ke tampuk kekuasaan. Dia dilantik sebagai presiden menggantikan Sukarno pada 1967. Lahirlah Orde Baru.

Dwifungsi ABRI menapaki wajah yang paling sempurna. Peran militer tidak terbatas ekonomi dan kaki tangan kekuasaan, bahkan penguasa tertinggi dari pemerantahan sipil pada waktu itu adalah seorang jenderal Angkatan Darat.

Banyak penulis, salah satunya Max Lane dalam Unfinished Nation; Indonesia Before and After Suharto menyoroti menguatnya peran militer dalam politik Indonesia. Tokoh-tokoh militer memiliki jabatan strategis. Ali Moertopo salah satunya. Dia adalah orang yang menanamkan fondasi-fondasi penting Orde Baru. Salah satu strategi Ali Moertopo untuk memisahkan masyarakat dengan politik adalah dengan strategi massa mengambang. Partai-partai disederhanakan menjadi tiga. Gerakan pembangunan berlangsung massif.

Di sisi lain jabatan-jabatan menteri hingga kepala daerah banyak diisi oleh orang-orang militer. Dwifungsi ABRI runtuh setelah munculnya gerakan demokratisasi pada 1998. Suharto tumbang. Pada tahun 2004 lahir UU TNI yang memisahkan peran TNI dalam kehidupan sipil. TNI kembali ke barak.

Namun demikian, setelah hampir 20 tahun berlalu,  ada upaya untuk membangkitkan kembali ’dwifungsi ABRI’ lewat klausul baru dalam UU ASN. Meski itu tidak secara eksplisit, tetapi jika ada perubahan definisi atau pengertian dalam UU ASN yang baru, bukan tidak mungkin nanti ditemukan elite militer menjabat jabatan sipil di luar yang diatur UU TNI.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper