Bisnis.com, JAKARTA – DPR RI dan Menko Polhukam Mahfud MD kembali berselisih paham. Kali, mereka tarik-menarik terkait pengesahan pembahasan revisi keempat UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).
Di satu sisi, DPR merasa sudah berhak mengesahkan revisi UU MK. Lantaran, menurut Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, pemerintah melalui Kemenkumham dan 9 fraksi DPR sudah menyetujui draf revisi UU MK dalam rapat konsinyering pada Minggu (3/12/2023).
Di sisi lain, Mahfud menyatakan pemerintah masih keberatan dengan sejumlah isi revisi UU MK, salah satu poin keberatannya terkait aturan peralihan masa jabatan hakim konstitusi.
Mahfud menyatakan seharusnya aturan peralihan masa jabatan tidak merugikan pihak yang terdampak aturan itu. Meski demikian, usulan beleid baru dari DPR malah merugikan sejumlah hakim konstitusi yang masih menjabat.
"Aturan peralihan itu kalau diberlakukan terhadap jabatan itu harus yang menguntungkan atau sekurang kurangnya tidak merugikan subjek yang bersangkutan," jelas Mahfud dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (4/12/2023).
Dijelaskan, dalam Pasal 87 huruf a draf revisi UU MK yang disepakati DPR mengatur bahwa hakim konstitusi yang sudah menjabat 5-10 tahun baru melanjutkan jabatannya sampai dengan 10 tahun apabila disetujui lembaga pengusul.
Baca Juga
Dalam hal ini, ada tiga hakim konstitusi yang akan terdampak ke aturan yang diusulkan oleh DPR itu yaitu Saldi Isra, Suhartoyo, dan Enny Nurbaningsih. Ketiganya sudah menjabat lebih dari 5 tahun namun belum capai 10 tahun.
Oleh sebab itu, jika ingin melanjutkan jabatannya hingga 10 tahun harus melalui persetujuan lembaga pengusul lagi. Saldi dan Enny merupakan hakim konstitusi yang diusulkan oleh presiden, sementara Suhartoyo diusulkan oleh Mahkamah Agung (MA)
"Kita minta sebelum dibawa ke pembahasan tingkat 2 [pengesahan], dibicarakan lagi," ujar Mahfud.
Cawapres nomor urut 3 ini bahkan sudah menyurati DPR agar jangan mengesahkan revisi UU MK itu. DPR juga mengaku sudah menerima surat itu.
Singkat cerita, DPR memutuskan tidak jadi mengesahkan beleid itu dalam rapat paripurna yang diselenggarakan pada Selasa (5/12/2023).
Meski demikian, Dasco mengaku penundaan itu bukan karena surat yang dikirim Mahfud melainkan karena kesepakatan para pimpinan fraksi di DPR.
"Ya penundaan itu karena masih ada pendapat bahwa kawan-kawan fraksi minta supaya ditunda untuk menghindari berita-berita yang kurang baik seperti yang beredar," jelas Dasco, Senin (4/12/2023).
Pemberitaan kurang baik yang dimaksud yaitu DPR seolah ingin merugikan salah satu pihak seperti yang disinggung Mahfud.
Meski ditunda, DPR tetap tidak menampung usul Mahfud. Dasco menyatakan DPR tidak perlu lagi membahas ulang isi revisi UU MK sebab sudah disetujui seluruh fraksi parlemen dan pemerintah lewat Kemenkumham. Revisi UU MK, lanjutnya, tinggal disahkan meski tidak dalam rapat paripurna Selasa ini.
"Ya kalau menurut ketentuan yang ada, itu tinggal diparipurnakan," ucap politisi Partai Gerindra ini.
4 Poin Perubahan
Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul menjelaskan, ada empat poin materi perubahan dalam revisi UU MK yang diusulkan oleh DPR.
Pertama, terkait aturan peralihan masa jabatan yang diprotes Mahfud. Kedua, syarat batas usia minimal hakim konstitusi dari semula 40 tahun menjadi 50 tahun.
Ketiga, evaluasi hakim konstitusi yang bisa dilaksanakan oleh masing-masing lembaga pengusul yaitu presiden, Mahkamah Agung, dan DPR RI.
"Mengevaluasi hakim-hakim yang tidak menjalankan tugasnya. Nah tugas-tugasnya peraturan MK sekarang kita baca semua, supaya kita clear," ujar Pacul, Kamis (16/2/2023).
Politisi PDIP ini tak setuju nantinya MK jadi tidak independen sebab dapat diintervensi oleh lembaga lain. Menurutnya, independen juga harus sesuai tugas utama. Oleh sebab itu, perlu adanya pendampingan.
Keempat, revisi mengenai keanggotaan Majelis Kehormatan yang diisi oleh hakim aktif MK. DPR ingin agar setiap anggota Majelis Kehormatan MK dapat bekerja sesuai dengan deskripsi pekerjaan masing-masing.
Dugaan Politisasi MK
Notabenenya, UU MK belum lama direvisi. Pada 2020, DPR sudah mengesahkan revisi ketiga UU MK. Kini, DPR yang periode yang sama ingin merevisi kembali perundang-undangan yang sudah merasa revisi tiga tahun lalu itu.
Lantas, banyak pihak yang merasa ada dugaan politisasi MK jelang gugatan hasil Pemilu 2024. Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana misalnya, yang mengkritisi keinginan DPR untuk menaikkan syarat minimal umur dan evaluasi hakim konstitusi.
“Mengapa syarat umur dinaikkan, atau masa jabatan hakim MK kembali dievaluasi? Karena semua yang ingin menang-curang sudah tahu dan berhitung, jika terjadi sengketa hasil suara, maka ujung penentu kemenangan Ppilpres ada di MK,” ujar Denny dalam keterangannya, dikutip Selasa (5/12/2023).
Dia menilai ada upaya serius untuk mendepak hakim yang tidak sejalan dengan kepentingan pihak tertentu. Oleh sebab itu, Denny menyarankan perubahan syarat minimal umur ataupun masa jabatan hakim konstitusi sebaiknya tidak dilakukan pada masa-masa menjelang pilpres.
“Agar tidak menjadi alat intervensi kekuasaan atas independensi MK,” katanya.
Sedangkan Mahfud mengaku sempat kaget ketika DPR mengusulkan kembali revisi UU MK ke pemerintah pada Januari 2023. Padahal, lanjutnya, revisi UU MK tidak ada dalam Pogram Legislasi Nasional Penyusunan Undang-undang (Prolegnas) 2023 yang setujui DPR dengan pemerintah.
"Tapi setelah kita konsultasikan, ya mungkin, ya ada kebutuhan, ya kita layani," jelasnya.
Mahfud menjelaskan revisi UU MK itu merupakan revisi perundangan-undangan biasa. Dengan demikian, notabenenya tidak ada unsur kegentingan yang memaksa agar revisi UU MK cepat-cepat diselesaikan.
"Saya ndak tahu jawabannya ada unsur kegentingan apa. Enggak ada, ini undang-undang biasa. Kalau Perppu baru ada unsur kegentingan. Dalam hal ikhwal, kegentingannya ini ndak ada," ungkapnya.
Dia menjelaskan, karena revisi UU MK merupakan usulan DPR maka sebaiknya alasan dibalik upaya revisi itu ditanyakan ke langsung ke parlemen. Mahfud tidak mau berspekulasi terkait ada upaya DPR untuk mengondisikan hakim MK jelang perselisihan hasil Pemilu 2024 nanti.
Sementara itu, DPR membantah ada upaya tertentu untuk mengondisikan MK. Dasco menjelaskan, pembahasan revisi UU MK sudah lama dilakukan.
"Revisi UU MK ini bukan pada saat-saat seperti ini. Jadi kalau dibilang urgensinya ini sudah berproses dari bulan Februari [2023] sehingga kemudian proses-proses ini berjalan. Sehingga kemudian kemarin itu sudah sampai pada puncaknya, persetujuan antara pemerintah dan DPR," ujarnya.