Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa semua pihak harus menghormati proses hukum dalam kasus yang menjerat Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate.
"Ya kita harus menghormati proses hukum yang ada," ujarnya dalam keterangannya di hadapan awak media di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (19/5/2023).
Sekadar informasi, dalam perjalanan pemerintahannya selama 9 tahun ke belakang, Presiden Ke-7 RI itu memang selalu menegaskan bahwa komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi tidak pernah surut.
"Komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi tidak pernah surut. Upaya pencegahan juga terus dilakukan dengan membangun sistem pemerintahan dan pelayanan publik yang transparan dan akuntabel," katanya di Istana Merdeka, Selasa (7/2/2023).
Sayangnya, tak ada gading yang tak retak meskipun terus menyatakan dirinya tidak main-main dengan pemberantasan tindak korupsi dan tidak terkecuali terhadap jajaran menteri kabinet Indonesia Maju, tetapi selama dua periode menjabat sebagai Presiden tercatat sudah empat menterinya dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan satu menteri ditetapkan Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi.
Bahkan, kasus-kasus korupsi yang menjerat menteri-menteri itu berasal dari pejabat partai politik (parpol) mulai dari Partai Golkar, partai PKB, partai Gerindra, partai PDIP, dan partai NasDem.
Baca Juga
Golkar
Kasus pertama, adalah Mantan Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham yang belum lama ini bebas dari penjara pada Jumat (11/9/2020). Mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu telah menjalani hukuman sebanyak 2 tahun penjara dalam kasus suap proyek pembangkit listrik PLTU Riau-1.
Terseretnya Idrus dalam kasus PLTU Riau-1 diawali melalui operasi tangkap tangan (OTT) terhadap koleganya di Partai Golkar sekaligus Wakil Ketua Komisi Energi DPR Eni Saragih.
Eni yang didakwa menerima suap dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo untuk mendapatkan proyek PLTU Riau-1, dimana pada akhirnya KPK mengendus peran Idrus dalam perkara rasuah tersebut. Alhasil, KPK mengumumkan penetapan tersangka terhadap Idrus pada 24 Agustus 2018 dengan Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang memvonis Idrus tiga tahun penjara pada 23 April 2019. Idrus dianggap bersalah menerima suap Rp 2,25 miliar dari Kotjo.
Mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu dijerat dengan Pasal 12 Huruf a atau b atau Pasal 11 Undang Undang Pemberantasan Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
PKB
Selanjutnya, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi dijatuhi vonis 7 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp 400 juta (subsider 3 bulan kurungan) dalam kasus suap dan gratifikasi yang menjeratnya.
Mantan Sekretariat Jenderal DPP PKB ini dinyatakan terbukti korupsi terkait pemberian dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) serta gratifikasi sebesar Rp8,3 miliar.
Kasus Imam pun berawal dari OTT terhadap sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI pada Desember 2018. Imam diduga menerima uang sebesar Rp26,5 miliar sebagai bentuk commitment fee pengurusan proposal yang diajukan KONI kepada Kemenpora.
Uang itu diterima secara bertahap yakni sebesar Rp14,7 miliar dalam rentang waktu 2014-2018 melalui asisten pribadinya, Miftahul Ulum yang juga menjadi tersangka dalam perkara ini. Imam juga diduga menerima uang Rp11,8 miliar dalam rentang waktu 2016-2018.
Alhasil, dirinya dijerat oleh Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 12b atau Pasal 11 Undang Undang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Gerindra
Edhy Prabowo yang merupakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang ditetapkan sebagai tersangka kasus suap izin ekspor benih lobster. Adapun, dalam kasus tersebut politisi Partai Gerindra itu bersama enam orang lainnya ditetapkan tersangka.
Selain Edhy, 6 tersangka penerima suap lainnya yaitu staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri, pengurus PT Aero Citra Kargo Siswadi, staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan Ainul Faqih, staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Andreau Pribadi Misata, dan seorang bernama Amiril Mukminin serta Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito disangkakan sebagai pemberi suap.
Edhy pun dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001 dan dianggap telah menerima suap terkait pengurusan izin budi daya lobster dan ekspor benih benur lobster (BBL) sebesar Rp 25,7 miliar dari para eksportir benih benur lobster.
Setelah vonis ditetapkan, Edhy mengajukan banding di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. November 2021, majelis hakim pengadilan tinggi memperberat hukuman Edhy menjadi pidana penjara 9 tahun dan dirinya diwajibkan membayar denda Rp 400 juta yang dapat diganti pidana kurungan selama 6 bulan. Majelis hakim tingkat banding juga menetapkan pidana pengganti senilai Rp 9,68 miliar.
Tak terima atas putusan Pengadilan Tinggi DKI, Edhy mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Senin, 7 Maret 2022, majelis hakim MA memutuskan untuk memangkas hukuman Edhy menjadi 5 tahun penjara.
PDIP
Kasus keempat kembali dilakukan oleh Menteri Sosial (Mensos) yang kali ini dilakukan oleh mantan Menteri Sosial Juliari Batubara pada 6 Desember 2020 sebagai salah satu dari lima tersangka kasus korupsi program bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 untuk Jabodetabek 2020, dimana KPK menyita uang sekitar Rp14,5 miliar dalam OTT Kemensos.
Politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu melalui pejabat pembuat komitmen (PPK) pada Program Bansos di Kemensos diduga telah menerima hadiah dari para Vendor Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (PBJ) bansos di Kemensos dalam penanganan Pandemi Covid-19.
Adapun, PPK disebutkan telah menerima fee Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai dilakukan oleh Matheus Joko Santosp kepada Juliari melalui Adi Wahyono dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar.
Pemberian uang tersebut, selanjutnya dikelola oleh Eko dan orang kepercayaan Juliari bernama Shelvy untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi Juliari. Untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul fee dari Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp 8,8 miliar yang juga diduga akan digunakan untuk keperluan Juliari.
Alhasil, dalam perkara tersebut, Juliari terbukti menerima uang suap terkait pengadaan bansos Covid-19 sekitar Rp 32,482 miliar dan dijatuhi hukuman oleh Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pidana penjara 12 tahun ditambah dengan denda Rp 500 juta pada 23 Agustus 2021.
Hakim juga mewajibkan Juliari membayar uang pengganti sejumlah Rp 14,5 miliar. Selain itu, hakim mencabut hak politik Juliari untuk dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun setelah selesai menjalani pidana pokok.
Sayangnya, saat membacakan putusan, hakim yang menyebut hukuman yang diterima Juliari diringankan dengan alasan terdakwa mendapat cercaan, hinaan dan vonis masyarakat. Padahal, menurut hakim anggota majelis hakim Yusuf Pranowo, saat itu Juliari masih menjalani proses hukum yang belum tentu bersalah dan belum ada hukuman tetap.
NasDem
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate yang saat ini berstatus sebagai tersangka usai memenuhi panggilan Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait pemeriksaannya sebagai saksi terkait dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi Base Transceiver Station atau BTS BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) tahun 2020-2022.
Berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP-21/F.2/Fd.2/05/2023 pada Rabu 17 Mei 2023. Untuk mempercepat proses penyidikan, tersangka akan ditahan selama 20 hari terhitung sejak 17 Mei 2023 sampai dengan 5 Juni 2023 di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung.
Sementara itu, berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor Prin-21/ F.2/Fd.2/05/2023 tanggal 17 Mei 2023. Tersangka juga disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Partai NasDem itu diperiksa dengan status sebagai saksi selama 2 jam sejak pukul 09.00 – 10.30 WIB oleh 4 orang Tim Penyidik. Selama pemeriksaan, JGP diberikan 33 pertanyaan oleh Tim Penyidik guna mengetahui keterlibatannya sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika RI dan Pengguna Anggaran (PA) dalam peristiwa pidana pada pelaksanaan proyek penyediaan infrastruktur BTS 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4 dan 5 BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika Tahun 2020–2022.
Dalam perkara ini, kerugian keuangan negara berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebesar Rp8.032.084.133.795 (Rp8 triliun) yang terdiri dari tiga hal yaitu biaya untuk kegiatan penyusunan kajian pendukung, mark up harga, dan pembayaran BTS yang belum terbangun.
Proyek penyediaan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 merupakan proyek strategis nasional, dan oleh karenanya akan tetap dilanjutkan sehingga kepentingan masyarakat yang tinggal di kawasan terdepan, terluar dan tertinggal (3T) dapat menerima jaringan 4G.