Bisnis.com, JAKARTA – Bakal calon presiden (bacapres) Anies Baswedan membawa pesan perubahan sebagai jargon politik dalam menapaki kontestasi Pilpres 2024.
"Kami merasakan adanya keinginan untuk meluruskan jalan, menghadirkan keadilan. Rakyat mendambakan demokrasi dan hukum yang menomorsatukan kepentingan mereka, bukan kepentingan yang lain," ujar Anies menyampaikan pidato politiknya, Jumat (24/2/2023).
Menariknya, jargon perubahan yang kemudian menjadi nama koalisi pengusungnya, diungkapkan di tengah tingkat kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih tinggi.
Mungkinkah Anies jargon politik Anies dan koalisi pengusungnya akan menarik minat para pemilih pada Pilpres 2024 nanti?
Mendasari pernyataannya dari pengalaman bersafari keliling Indonesia, Anies merasa masyarakat tak puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi. Narasi yang disampaikan Anies pun terasa sangat oposan.
Pilkada DKI Jakarta 2017 memang jadi katarsis personifikasi politik Anies. Pada kesempatan itu, Anies menang lawan sosok ‘penerus’ Jokowi, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Akibatnya, cap oposisi Jokowi melekat ke Anies—hingga kini.
Baca Juga
Dikenal sebagai sosok oposisi Jokowi seakan jadi tiket untuk Anies maju ke Pilpres 2024. Apalagi musuh lama Jokowi yang juga berniat maju ke Pilpres 2024, Prabowo Subianto, tak lagi menyatakan diri sebagai sosok oposan.
Otomatis, selain Anies, tak ada lagi tokoh oposisi yang kuat secara elektabilitas politik. Tak heran jika kemudian dua partai politik (parpol) oposisi pemerintahan, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mendukung Anies maju ke Pilpres 2024.
Ditambah dukungan Partai NasDem, Anies secara de facto punya tiket maju ke Pilpres 2024. Gabungan NasDem, Demokrat, dan PKS mewakili 28,3 persen kursi di parlemen. Dalam UU No. 7/2017 (UU Pemilu) disebutkan, parpol atau koalisi parpol setidaknya harus punya 20 persen kursi di DPR RI untuk bisa mendaftarkan bacapres dalam pemilihan presiden (presidential threshold).
Ketiga parpol pengusung Anies itu sempat menamai diri Koalisi Perubahan. Dari namanya, masyarakat langsung menangkap semangat yang mereka bawa: semangat pemerintahan alternatif, yang akan berbeda dengan pemerintahan saat ini.
Terbukti, temuan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Maret 2023 menunjukkan kebanyakan masyarakat yakin Anies tak akan melanjutkan program Jokowi. SMRC menyodorkan lima nama bacapres paling potensial, yaitu Anies, Prabowo, Ganjar Pranowo, Puan Maharani, dan Airlangga Hartarto ke responden.
Ketika ditanya siapa di antara lima nama itu yang dirasa paling tak mungkin melanjutkan program pemerintahan Jokowi, Anies berada di urutan pertama dengan memperoleh 21,3 persen suara, diikuti Puan (17,4 persen), Prabowo (15,4 persen), Ganjar (9,6 persen), dan Airlangga (8,6 persen).
Lantas, pertanyaan sekarang: apakah imaji perubahan dan oposan Jokowi itu dapat memenangkan Anies pada Pilpres 2024?
Tergantung Kinerja Presiden
Nyatanya sejak presiden dipilih langsung pada 2004, capres yang bawa visi perubahan hanya bisa memenangkan kontestasi pilpres ketika tingkat kepuasan publik ke presiden petahana rendah.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pilpres 2004 misalnya. Saat itu, SBY berhasil menang lawan presiden petahana Megawati Soekarnoputri. Menurut survei LSI pada Oktober 2004, masyarakat tak puas dengan kinerja Megawati karena kenaikan harga barang pokok dan sulitnya mencari pekerjaan.
Hanya satu dari tiga responden yang merasa perekonomian pribadi dan nasional membaik dibanding pada 2003. Di sisi lain, dua pertiga percaya perekonomian pribadi dan nasional akan membaik pada 2005 atau setelah SBY jadi presiden.
Bahkan, sekitar 82 persen percaya SBY akan memulihkan kondisi sosial-ekonomi nasional. Sedangkan hanya sekitar 54 persen Megawati dapat melakukan demikian.
Edward Aspinall, Marcus Mietzner, dan Dirk Tomsa dalam artikel “The moderating president: Yudhoyono’s decade in power” di buku The Yudhoyono Presidency (2015) menilai SBY dapat menang lawan Megawati pada Pilpres 2004 karena pesan yang dibawa: reformasi pemerintahan untuk stabilitas.
Singkatnya, menawarkan diri sebagai alternatif Megawati membuat SBY berhasil memenangkan Pilpres 2004 dengan margin 61 persen banding 39 persen (putaran kedua).
Pada Pilpres 2009, malah sebaliknya. Saat itu, Megawati kembali maju sebagai capres. Dia pun tak segan menawarkan diri sebagai alternatif SBY.
Namun, saat itu tingkat kepuasan masyarakat ke kinerja pemerintahan SBY masih tinggi. Survei LSI pada Juli 2009 menunjukkan, kepuasan masyarakat ke kinerja SBY sekitar 85 persen. Akhirnya, SBY (60,8 persen) bisa memenangkan Pilpres 2009 sekali putaran lawan Megawati (26,7 persen) dan juga mantan wakil presidennya Jusuf Kalla alias JK (15 persen).
Meski begitu, tingkat kepuasan masyarakat menurun drastis pada masa-masa akhirnya pemerintahan SBY. Survei SMRC pada akhir Desember 2013 menunjukkan, hanya 47,6 persen responden yang puas dengan kinerja SBY.
Tak heran jika dua kandidat capres yang maju di Pilpres 2024, Jokowi dan Prabowo, sama-sama membawa visi perubahan. Saat itu, Jokowi membawa ide “revolusi mental”, sedangkan Prabowo ingin melawan korupsi dan eksploitasi asing yang dinilai makin marak di era SBY.
Aspinall dan Mietzner dalam artikel “Indonesian Politics in 2014: Democracy’s Close Call” di Jurnal Bulletin of Indonesian Economic Studies (2014) menilai, meski sama-sama membawa pesan perubahan, tapi rekam jejak Jokowi yang lebih jelas membuatnya menang lawan Prabowo.
Jelang akhir masa pemerintahan Jokowi yang pertama, tingkat kepuasan masyarakat masih cenderung tinggi. Survei Indikator Politik Indonesia pada Februari 2019 menunjukkan sebesar 71,6 persen responden puas kinerja Jokowi.
Tak heran jika Prabowo kalah lagi lawan Jokowi di Pilpres 2019. Apalagi, saat it Prabowo kembali maju sebagai capres dengan mencitrakan diri sebagai alternatif Jokowi.
Artinya, sejak presiden dipilih langsung oleh masyarakat, capres yang bawa pesan perubahan hanya bisa menang ketika tingkat kepuasan ke presiden petahana bobrok.
Bagaimana Nasib Anies?
Survei terbaru Indikator Politik Indonesia pada Maret 2023 menunjukkan tingkat kepuasan terhadap kinerja Jokowi masih tinggi, yaitu 73,1 persen.
Sejalan, survei terbaru SMRC pada Maret 2023 menunjukkan sebesar 79,6 persen responden puas dengan kinerja pemerintah di bidang ekonomi-politik.
Jika responden ditanya lebih detail lagi maka makin tampak ketimpangan antara capres yang bawa pesan keberlanjutan dan perubahan. Dari 79,6 persen yang menilai baik kinerja pemerintah, 40 persen di antaranya cenderung memilih Ganjar. Sedangkan, yang memilih Prabowo hanya 25 persen dan Anies hanya 23 persen.
Memang, Ganjar dan Prabowo adalah dua bacapres yang paling potensial jadi lawan Anies pada Pilpres 2024. Selain Anies, keduanya kerap masuk tiga besar bacapres potensial dengan elektabilitas tertinggi.
Bedanya, Anies bawa pesan perubahan sedangkan Ganjar dan Prabowo bawa pesan keberlanjutan. Ganjar dianggap sebagai ‘the little Jokowi’ atau Jokowi kecil, keduanya juga sama-sama kader PDIP.
Sedangkan Prabowo makin dekat dengan Jokowi. Belakangan Jokowi terlihat rajin membawa Prabowo kunjungan kerja ke berbagai daerah di Indonesia. Prabowo sendiri menganggap Jokowi ingin mendidik dirinya untuk mengurusi negara.
“Kalau urusan negara sekarang saya banyak belajar dari Pak Joko Widodo, karena itu mungkin beliau bawa saya ke mana-mana. Mungkin beliau mau didik saya, saya tidak tahu. Tapi kira-kira itu,” ujar Prabowo, Jumat (17/3/2023).
Dengan kata lain, ‘perubahan’ masih sangat berisiko dijadikan pesan utama Anies untuk Pilpres 2024—setidaknya berdasarkan fakta sejarah dan hasil survei saat ini. Jika masyarakat masih puas dengan kinerja Jokowi maka kemungkinan besar mereka akan lebih memilih capres yang bawa pesan keberlanjutan.
Sepertinya, Anies dan koalisi pengusunganya menyadari risiko itu. Meski pada awalnya NasDem, Demokrat, dan PKS menyebut diri sebagai Koalisi Perubahan namun belakangan mereka 'mengganti' nama.
Kini, mereka menyebut diri sebagai Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Namanya yang cenderung lebih moderat dari sebelumnya, seakan mereka ingin mengkonsolidasikan pihak oposan sekaligus pihak pro-pemerintah.
Pekan lalu, KPP juga mengumumkan piagam kerjasama antara NasDem, Demokrat, dan PKS. Dalam piagam itu, ada enam poin kesepakatan. Dari poin-poin kesepakatan itu makin tampak KPP ingin mengambil jalan tengah daripada frontal menyatakan diri sebagai pembawa perubahan.
Pada poin pertama misalnya, disebutkan "...KPP dibentuk sebagai tanggung jawab untuk memastikan kesinambungan pembangunan bangsa yang dimulai sejak kemerdekaan...". Memang, isu keberlanjutan pembangunan era Jokowi memang sering jadi batu sandungan untuk Anies.
Pihak lawannya kerap menyerang, baik secara tersirat maupun tersurat, dengan argumen Anies tak akan melanjutkan pembangunan era Jokowi. Apalagi publik menilai salah satu kesuksesan Jokowi selama memimpin Indonesia adalah pembangunan fisik.
Survei Indikator Politik Indonesia pada Maret 2023 misalnya, "pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, dll" masuk dua besar alasan mengapa 73,1 persen responden merasa puas dengan kinerja Jokowi.
Selain itu, para kandidat calon wakil presiden (cawapres) untuk Anies juga lebih banyak sosok netral daripada oposan. Wakil Ketua Majelis Syura PKS Mohamad Sohibul Iman mengatakan setidaknya ada lima nama tokoh yang sudah dibicarakan di KPP untuk jadi cawapres Anies.
Iman mengungkap, Wakil Ketua Majelis Syura PKS Ahmad Heryawan alias Aher, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, mantan Panglima TNI Andika Perkasa, dan tokoh Nahdlatul Ulama Yenny Wahid jadi kandidat cawapres potensial yang sudah dibicarakan.
"Ya jelas dari PKS ada Kang Aher. Dari Demokrat ada AHY. Dari NasDem ada Bu Khofifah, bahkan juga sebelumnya ada Pak Andika. Kemudian Mbak Yenny, itu juga ada muncul," ujar Iman, Jumat (24/3/2023).
Dari lima nama itu, hanya Aher dan AHY yang merupakan sosok oposisi pemerintahan Jokowi. Sedangkan Khofifah, Yenny, dan Andika merupakan sosok netral, malah cenderung dekat dengan penguasa saat ini.
KPP sendiri mengakui masih menggodok sosok cawapres yang pas untuk Anies. Meski nantinya keputusan final penentuan cawapres ada di tangan Anies namun dia harus berkonsultasi terlebih dahulu ke petinggi partai yang tergabung dalam KPP.
Mungkin, KPP dan Anies masih menanti pergerakan tingkat kepuasan publik ke kinerja Jokowi ke depan, sebelum menetapkan cawapres. Jika tingkat kepuasan ke Jokowi tetap tinggi maka kemungkinan cawapres Anies merupakan sosok netral. Sebaliknya, jika tingkat kepuasan ke Jokowi menurun cukup tajam maka kemungkinan besar cawapres Anies merupakan sosok oposan.
Catatannya, pasangan Anies harus ditentukan sebelum penutupan pendaftaran capres-cawapres ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 25 November 2023. Ketua DPP Partai NasDem Willy Aditya mengatakan, pencarian pendamping Anies dilakukan secara detail dan melibatkan banyak pihak. Yang pasti, KPP masih melihat 'situasi politik ke depan'.
"Kita lihatlah dinamika seperti apa yang terjadi," ujar Willy, Senin (27/3/2023).