Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Temuan KPK vs Laporan Sri Mulyani ke Kejagung Soal Kerugian Kasus LPEI

Nilai indikasi kerugian keuangan negara di kasus dugaan fraud pemberian fasilitas kredit LPEI yang ditemukan KPK berbeda dengan laporan Sri Mulyani di Kejagung
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/3/2024). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/3/2024). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Nilai indikasi kerugian keuangan negara pada kasus dugaan fraud pemberian fasilitas kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang ditemukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berbeda dengan yang dilaporkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung).

Untuk diketahui, KPK memulai penyidikan kasus tersebut hari ini, Selasa (19/3/2024). Hal itu dulakukan sehari setelah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati melaporkan kasus serupa ke Jaksa Agung ST Burhanudin, Senin (18/3/2024). 

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron memerinci bahwa pihaknya sudah menelaah tiga dari total enam laporan fraud debitur LPEI. Hal itu berbeda dengan pihak Kejagung yang menyebut adanya empat pihak korporasi yang terindikasi fraud. 

Ghufron menyebut total indikasi kerugian keuangan negara pada kasus LPEI yang ditangani pihaknya yakni mencapai Rp3,4 triliun. 

"Yang sudah terhitung dalam tiga korporasi sebesar Rp3,45 triliun," katanya.

Adapun, sebelumnya Menkeu Sri Mulyani Indrawati melaporkan empat debitur bermasalah yang terindikasi fraud senilai Rp2,5 triliun dalam kasus dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). 

Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan laporan ini berdasarkan dari laporan tim terpadu yang terdiri dari Jamdatun, BPKP hingga Inspektorat Keuangan di Kemenkeu. 

Secara terperinci, perusahaan berinisial RII diduga telah melakukan korupsi dengan nilai Rp1,8 triliun, SMR sebesar Rp216 miliar, SMU sebesar Rp144 miliar, dan PRS sebesar Rp305 miliar. 

"Jumlah keseluruhannya adalah sekitar Rp2,5 Triliun," kata ST Burhanuddin di Kejaksaan Agung, Senin (17/3/2024).

Modus Fraud LPEI Versi KPK

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan modus dugaan fraud salah satu dari tiga korporasi debitur fasilitas kredit LPEI dimaksud. Perusahaan itu berinisial PT PE, yang bergerak di bidang jual beli BBM dan bahan bakar lainnya. Nilai kerugian negara yang diduga disebabkan oleh fraud PT PE senilai sekitar Rp766 miliar.

PT PE disebut menerima fasilitas kredit modal kerja ekspor (KMKE) LPEI pada 2015 senilai US$22 juta; 2016 senilai Rp400 miliar; dan ditambah pada 2017 senilai Rp200 miliar.

KPK menduga bahwa kecurangan atau fraud itu terjadi ketika komite pembiayaan LPEI mengabaikan sejumlah aspek kelayakan PT PE dalam menerima fasilitas kredit. Misalnya, security coverage ratio. Alex menyebut laporan keuangan PT PE yang dijadikan rujukan untuk mengajukan kredit tidak benar. 

Beberapa contoh ketidakbenaran informasi dalam laporan PT PE itu terkait dengan aset tetap, dugaan penggelembungan nilai piutang, maupun jaminan tambahan perusahaan berupa personal guarantee yang ternyata tidak bisa menutup fasilitas pembiayaan kredit. 

Di sisi lain, kondisi keuangan PT PE diduga diabaikan oleh pihak LPEI. Contohnya, persyaratan financial covenant, current ratio (rasio aset lancar), serta debt to equity ratio (rasio utang dengan ekuitas) yang tidak sesuai dengan syarat untuk mengajukan kredit pembiayaan. 

Belum lagi, lanjut Alex, terdapat dugaan PT PE menggelembungkan nilai aset hingga dua kali lipat karena naiknya piutang dan pencatatan semu. Perusahaan itu duduga memanipulasi laporan keuangan.

"Diduga PT PE juga memanipulasi laporan keuangan sehingga meningkatkan nilai valuasi PT PE. Ini beberapa dugaan fraud yang dilakukan," ujarnya.

Sementara itu, dari sisi dugaan melawan hukum oleh direksi dan komite pembiayaan LPEI, mereka di antaranya diduga mengesampingkan financial covenant PT PE atau janji pihak debitur untuk menyampaikan laporan keuangan kepada kreditur secara periodik.

Pihak LPEI juga diduga menganggap bisnis PT PE berjalan normal atau sesuai dengan proyek suplai BBM jenis HSD ke PT PLN, yakni 70.000 kilo liter per bulan. Padahal, PT PE nyatanya hanya bisa menjual kurang dari 10.000 kilo liter per bulan.

Usai kejanggalan-kejanggalan itu, PT PE justru dinyatakan pailit pada 29 Juni 2020. Tagihan LPEI kepada perusahaan itu masih senilai total Rp844,07 miliar.

LPEI pun melakukan upaya penyelamatan terhadap PT PE dengan skema pengalihan piutang atau cessie. Dari total outstanding tagihan Rp844,07 miliar atau setara dengan US$60 juta, lalu dijual kepada PT CMT senilai US$10 juta dan PT PI US$50 juta.

Menariknya, KPK menemukan bahwa baik PT CMT dan PT PI memiliki afiliasi dengan PT PE melalui kepemilikan saham. Ketiga perusahaan itu juga dimiliki oleh orang yang sama dengan inisial JM. 

Dengan itu, KPK menduga penyimpangan yang dilakukan oleh pihak direksi LPEI dengan memberikan fasilitas pembiayaan ekspor kepada salah satunya PT PE turut menyebabkan kerugian keuangan negara.

"Terdapat potensi kerugian negara sebesar sekurang-kurangnya US$54.500.000 atau dengan kurs Rp14.047,99 senilai Rp766.705.455.000," tutup Alex.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dany Saputra
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper