Bisnis.com, JAKARTA—Sampai sekitar delapan hari lalu, sepertinya Benjamin Netanyahu memiliki peluang bagus untuk membantah opini publik bahwa karier politiknya akan berakhir dengan kegagalan.
Meski kekuatan pengaruh politiknya di Israel mulai melemah, bahkan bisa kehilangan jabatan, Netanyahu setidaknya masih akan meninggalkan legasi politik sebagai perdana menteri terlama Israel yang pernah ada.
Setidaknya, dia pun akan dikenang sebagai salah satu sosok terpenting dalam sejarah negara itu. Tahun lalu Netanyahu mendapatkan terobosan bersejarah dalam konteks hubungan negara Yahudi itu dengan dunia Arab.
Perjanjian Abraham dengan normalisasi hubungan antara Israel dan Uni Emirat Arab dan Bahrain menjadi catatan tersendiri di mata internasional maupun di dalam negeri.
Israel di bawah Netanyahu terlihat damai, makmur, dan keluar dari isolasi internasional sebagaimana yang dia harapkan. Perjuangan yang panjang dan seringkali berdarah dengan orang-orang Palestina pun nyaris tak terdengar dan tidak menjadi berita utama di media massa maupun media sosial.
Apalagi program vaksinasi Covid-19 yang mendunia kian memoles citra Netanyahu. Hanya ada masalah kecil untuk menghindar dari ancaman hukuman pengadilan atas tuduhan korupsi padanya.
Baca Juga
Meski ada potensi hukuman penjara, hal itu tampaknya akan sulit terlaksana terhadap seorang petinggi Israel.
Akan tetapi, selama seminggu terakhir, rencana Netanyahu untuk mengamankan masa depan Israel telah gagal.
Harapan perdana menteri Israel bahwa masalah Palestina dikesampingkan dengan aman terbukti hanya sebuah khayalan, sebagaimana dikatakan analis politik internasional Financial Times, Gideon Rachman seperti dikutip ChannelNewsAsia.com, Rabu (19/5/2021).
Sengketa yang dimulai dengan bentrokan antara polisi Israel dan pengunjuk rasa Muslim di Yerusalem telah meningkat. Roket ditembakkan ke kota-kota Israel, Israel pun membalas dengan mengebom Gaza. Akibatnya bentrokan kekerasan antara orang Arab dan Yahudi di seluruh Israel tak terbendung.
Pendekatan “luar ke dalam”
Dengan dorongan dari pemerintahan Trump, pemerintah Netanyahu pada dasarnya telah mengikuti apa yang oleh beberapa orang disebut sebagai strategi "luar ke dalam".
Pendekatan ini adalah gagasan bahwa Israel harus mengejar kesepakatan dengan dunia luar, terutama dunia Arab. Tujuannya adalah untuk membantu menyelesaikan konflik internalnya di dalam dengan rakyat Palestina.
Pendekatan ini adalah kebalikan dari pendekatan “dalam-ke-luar” yang biasa dilakukan selama ini untuk menghadapi konflik.
Artinya, Israel pertama-tama harus mengamankan penyelesaian dengan orang-orang Palestina. Dengan demikian dapat diharapkan tercapai perdamaian yang tahan lama serta adanya penerimaan internasional.
Kalau dilihat dari apa yang dilakukan Netanyahu, penandatanganan perjanjian Abraham merupakan bukti bahwa strategi luar ke dalam telah berhasil.
Israel berharap Arab Saudi, negara paling kuat di dunia Arab, selanjutnya akan menjalin hubungan diplomatik dengan negara Yahudi itu.
Di sisi lain, Netanyahu berharap Palestina akan kehilangan dukungan Arab dan internasional selain akan kehilangan keinginan untuk melawan.
Aktivis hak asasi manusia dapat terus mendukung perjuangan mereka sebagaimana juga dengan dunia yang lebih luas sehingga memungkinkan Israel memaksakan persyaratannya sendiri pada populasi Palestina yang melemah dan terpencar-pencar.
Beberapa orang Israel berspekulasi bahwa orang Palestina mungkin akan berakhir seperti orang Tibet. Ditekan oleh China, aspirasi nasionalnya terlihat semakin menyedihkan dan terlupakan.
Akan tetapi, apa boleh buat, roket yang menghujani kota-kota Israel dari Gaza telah menimbulkan kerusakan parah. Tidak hanya pada properti dan warga, kerusakan juga pada strategi itu sendiri.
Harapan bahwa kebijakan Netanyahu akan mampu menekan dan menghilangkan masalah Palestina sekarang tampak bodoh.
Potensi perang saudara
Kecaman internasional atas tindakan Israel kembali bersemi seiring dentuman mesin perang negara itu yang menyebabkan kematian warga sipil di Gaza.
Apalagi banyak anak-anak tak berdosa menjadi korban tewas sia-sia. Karena itu sangat sulit untuk berharap terobosan diplomatik Israel lebih lanjut akan dapat menuai hasil.
Hal paling serius dari semuanya adalah bentrokan brutal antara orang Yahudi dan warga Israel-Arab yang merupakan 20 persen dari populasi negara itu. Mereka membawa konflik di luar ke dalam negara Israel sendiri. Tidak tertutup pula kemungkinan akan terjadi perang saudara.
Dalam beberapa tahun terakhir banyak politisi Israel berharap dan percaya bahwa orang Arab yang tinggal di dalam negara itu tidak lagi mendukung secara kuat perjuangan Palestina.
Tetapi krisis saat ini telah membawa rasa persatuan baru antara orang-orang Palestina di Gaza, Tepi Barat, dan di dalam Israel sendiri. Artinya, gagasan bahwa masalah Palestina dapat ditutup dengan aman, tidak terlihat lagi, tidak lagi dapat dipercaya.
Sebaliknya, strategi Netanyahu mungkin telah meningkatkan ancaman bagi negaranya. Dia secara tidak sengaja telah membuka front baru di dalam Israel sendiri. Ancaman itu akan tetap ada, bahkan setelah hantaman Gaza telah berhenti.
Kelemahan utama strategi luar-ke-dalam adalah asumsi bahwa keputusasaan Palestina akan mengarah pada ketenangan. Akan tetapi pada kenyataannya, justru membuat keberanian dari kelompok sayap kanan Israel meningkat. Mereka bertekad untuk terus maju dengan aneksasi lebih lanjut atas properti dan tanah Palestina.
Dalam kondisi demikian, akhirnya Netanyahu telah memberikan percikan yang menyulut kebakaran baru.
Kepentingan politik Netanyahu
Kelompok paling kanan sendiri telah didekati dan didukung oleh Netanyahu saat dia mencari sekutu dalam upayanya mempertahankan kekuasaan. Pendekatan itu dilakukan Nentanyahu pada hampir setiap pemilu.
Bagi Netanyahu, krisis saat ini memang memiliki satu manfaat signifikan, apalagi setelah pemilu keempat yang tidak meyakinkan secara berturut-turut.
Lawan-lawan politiknya berada di ambang pembentukan pemerintahan koalisi yang pada akhirnya akan menjatuhkannya dari kekuasaan.
Negosiasi tersebut sekarang terhenti. Akan tetapi Netanyahu tampaknya akan terus berlanjut sebagai perdana menteri.
Upaya yang berhasil untuk mempertahankan kekuasaan dan menjadi tameng untuk menangkis kasus korupsi terhadapnya, akan menunjukkan bahwa Netanyahu tetap menjadi ahli taktik politik yang piawai.
Tetapi meningkatnya kekerasan minggu ini telah merusak klaimnya sebagai negarawan. Para pendukungnya sesumbar bahwa strategi diplomatiknya telah memberikan jalan keluar dari konflik Israel-Palestina.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa tidak diperlukan konsesi yang menyakitkan atas tanah dan hak-hak Palestina.
Hanya saja, sekali lagi, jalan keluar dari konflik Netanyahu sekarang tampak seperti jalan buntu yang berbahaya. Dia ibarat membawa Israel ke dalam sebuah lorong panjang yang tidak jelas di mana pintu keluarnya.