Kabar24.com,JAKARTA - Belakangan, Indonesia dihebohkan dengan sejumlah kasus penembakan oleh anggota kepolisian yang menelan korban. Mulai dari kasus penembakan sebuah keluarga yang menghindari razia di Lubuk Linggau hingga seorang polisi yang menembak anaknya sendiri di Bengkulu.
Kepala Biro Pengamanan Internal (Karopaminal) Divpropam Polri Bridjen Pol Baharuddin Djafar menyebutkan munculnya kasus seperti ini dilatar belakangi oleh beberapa aspek termasuk kelalaian.
Menurutnya, kejadian ini bisa terjdi akibat tindakan anggota kepolisian yang tidak mengikuti aturan atau pun prosedur yang ada.
"Dari aspek pengamanan internal, ini masih terlihat adanya kelalaian, adanya tidak mengikuti aturan, prosedur yang seharusnya mereka dilakukan di dalam melaksanakan tugas," katanya dalam sebuah diskusi bertema Penggunaan Senjata Api Oleh Anggota Polri di Jakarta, Kamis (27/4/2017).
Namun, dia menambahkan, kejadian ini tidak bisa semata-mata hanya dilihat sebagai kesalahan anggota polisi, kendati tidak dipungkiri hal ini memiliki kontribusi besar. Dia mencontohkan dalam kasus penembakan seorang anak oleh ayahnya yang merupakan anggota kepolisian di Bengkulu, korban yang merupakan anak korban juga menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya hal ini.
"Kemudian, khusus untuk yang [penembakan anak sendiri], ini juga melanggar aturan. Seharusnya, untuk memasuki rumah kita harus permisi," katanya.
Seperti diketahui, anggota polisi berinisial BS menembak melakukan penembakan tanpa mengetahui bahwa yang ditembak adalah anak kandungnya sendiri. Kejadian bermula ketika dia keluar dari kamar sekitar pukul 04.00 WIB. Saat itu rumah dalam keadaan gelap dan dia mendengar adanya suara pintu.
Diapun lantas mengambil senjata dan menembakkannya ke arah korban.Akibat tembakan yang mengenai bagian ketiak kanannya, korban pun meninggal. BS baru mengetahui bahwa orang yang memasuki rumah adalah anak kandungna sendiri setelah dia melepaskan tembakan.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Komisioner Kompolnas Irjen Pol (Purn) Bekto Suprapto menyebutkan terdapat tiga hal yang menjadi perhatian dalam kasus-kasus seperti ini.
Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah terkait aturan dan seberapa jauh anggota kepolisian memahami aturan tersebut. Menurutnya, aturan di kepolisian yang saat ini berlaku sudah sangat baik dan lengkap karena mengacu pada prinsip dasar hak azasi manusia dari PBB untuk penegakan hukum.
"Aturan itu ada di Perkap nomor 8/2009. Masalahnya, banyak anggota yang belum tahu aturan itu," katanya.
Dia melanjutkan bahwa saat ini, masih banyak anggota kepolisian yang percaya dengan mitos penggunaan senjata seperti perlunya tembakan peringatan sebanyak tiiga kali. Padahal, seperti tertuang dalam Perkap no 8/2009, peringatan, kata Bekto, harus dimengerti oleh orang yang diingatkan dan tidak harus dengan menggunakan tembakan.
"Cukup: Saya polisi, kamu berhenti, letakkan senjata kamu. Tapi, karena suka lihat televisi, ikut-ikutan," katanya menjelaskan.
Adapun hal kedua yang perlu menjadi perhatian adalah intensitas latihan menebak serta hal-hal yang disampaikan dalam latihan. Dia mengutarakan, selain sangat jarang, latihan menembak yang dijalani oleh anggota kepolisian kebanyakan membicarakan mengenai bagaimana cara menembak dan kurang menekankan topik terkait kapan dan dalam kondisi yang bagaimana seorang anggota polisi diperkenankan melepaskan tembakan.
"Kami mengirim anggota Kompolnas ke Polres Lubuk Linggau, di Polres Lubuk Linggau, kapan dilakukan latihan menmbak? Di dalam catatan di Polres, latihan menembak terakhir dilakukan 2008, Brigadir K yang melakukan penembakan, dia melakukan latihan menembak dengan senjata yang sama itu 2008, pada saat dia sekolah, ini masalah latihan. Polres lain kurang lebih mengalami hal yang sama," paparnya.
Adapun poin penting yang ketiga adalah terbatasnya ketersediaan peluru. Dia mengimbau perlunya diskusi dengan kepolisian untuk mengakomodir ketiga hal ini.