Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan kritik keras dari Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri. Dia meminta agar KPK hanya fokus menangani kasus-kasus kecil atau yang melibatkan 'kroco' tidak lepas dari akibat mengusut dugaan korupsi Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Sebagaimana diketahui, Hasto dan advokat sekaligus kader PDIP Donny Tri Istiqomah ditetapkan sebagai tersangka baru dalam kasus suap penetapan anggota DPR 2019-2024 yang turut menjerat buron Harun Masiku. Hasto juga diduga merintangi penyidikan kasus yang sudah bermula sejak 2020 itu.
Pada HUT ke-52 PDIP, Megawati 'roasting' habis-habisan KPK yang dinilai hanya mengusut kasus Hasto. Padahal, menurut Presiden ke-5 RI itu, banyak kasus-kasus korupsi dengan kerugian keuangan negara yang lebih besar.
Ucapan Megawati itu tidak lepas dari isu bahwa adanya dugaan politisasi hukum terhadap Hasto. PDIP bahkan menilai penetapan elite PDIP itu sebagai tersangka ditengarai sebagai upaya untuk mengganggu Kongres ke-VI PDIP pada April 2025 mendatang.
“Lho ngopo to, hanya nggoleki kroco-kroco. Mbok yang bener-bener, sing jumlahe T T T [triliun] lha endi? Saya lalu dibilang, Ibu Mega mengkritik saja. Lho enggak, orang yang saya bilang itu benar. Saya ingin KPK itu yang benar,” ujar Megawati pada Perayaan HUT ke-52 PDIP, Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta, Jumat (10/1/2025).
Anak dari Presiden ke-1 Soekarno itu lalu kembali menyinggung bahwa KPK dibuat pada zaman pemerintahannya di awal 2000-an. Dia menceritakan sulitnya menciptakan KPK sekitar 20 tahun yang lalu.
Baca Juga
“Untuk menjadikan KPK itu dipikir gampang? Enggak. Saya aja berantem dulu. Karena itu sifatnya adhoc untuk membantu yang namanya polisi dan kejaksaan karena di dalam menjalankan tugasnya itu tidak maksmal, lho kok sampai sekarang ngono wae?," paparnya.
KPK tidak menunggu lama untuk merespons kritik dari Megawati. Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu menyampaikan, pihak mengapresiasi pernyataan Ketua Umum PDIP. Bahkan, kritik itu dinilai sejalan dengan harapan KPK.
"Memang itu menjadi harapan kita juga, kita bisa menangani perkara perkara yang besar. Tetapi masyarakat yang melaporkan ke KPK itu juga sangat banyak. Artinya perkara perkara yang mereka juga ya yang ada seperti itu, tidak semuanya perkaranya misalkan triliunan," terang Asep kepada wartawan.
Asep menyebut semua dugaan korupsi yang dilaporkan ke KPK harus ditindaklanjuti. Namun, dia mengakui lembaganya berharap agar bisa menangani kasus-kasus besar dengan jumlah korupsi hingga triliunan rupiah.
"Misalkan perkara yang kita tangani Rp10 miliar dengan perkara yang misalkan Rp10 triliun, sama saja gitu. Artinya kita harus melakukan penggeledahan, penyitaan, memeriksa saksi saksi dan lain lain. Sementara kerugiannya berbeda gitu," ucapnya.
Kasus 'Big Fish' yang Diburu KPK
Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan bahwa pimpinan jilid VI akan tetap fokus untuk menangani kasus-kasus besar dengan nilai kerugian keuangan negara jumbo. Tujuannya, untuk mendorong pemulihan aset atau asset recovery dari pelaku tindak pidana korupsi.
Sebelumnya, KPK jilid V yang terakhir dipimpin oleh Nawawi Pomolango turut memiliki ambisi yang sama.
Usai melakukan Sertijab Pimpinan dan Dewas KPK baru, Jumat (20/12/2024), Setyo mengaku akan berkoordinasi dengan berbagai lembaga lain untuk mengusut kasus-kasus big fish.
"Nanti dengan memanfaatkan LHA dari PPATK, kemudian bekerjasama dengan PPATK, kemudian case building, harapan seperti itu bisa mengungkap kasus-kasus yang besar," ujarnya, dikutip Selasa (14/1/2025).
Berdasarkan catatan Bisnis, mayoritas kasus-kasus jumbo yang diusut KPK meliputi perkara rasuah di lingkungan BUMN. Kerugian negara kasus tersebut mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah.
KPK belum lama ini mengungkap dua kasus BUMN yang merugikan keuangan negara ratusan miliar rupiah. Seperti kasus investasi PT Taspen (Persero) dengan nilai kerugian sekitar Rp200 miliar, serta proyek fiktif di anak usaha PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk., PT Sigma Cipta Caraka (SCC), senilai Rp280 miliar.
Belum lagi terdapat kasus-kasus seperti dugaan fraud kredit ekspor Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan dugaan kerugian negara Rp1 triliun, kasus jual beli gas PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. atau PGN serta kasus akuisisi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) senilai Rp1,27 triliun.
Dalam catatan KPK, terdapat total 142 perkara dugaan korupsi yang naik ke tahap penyidikan selama 2024 lalu. Adapun penyelidikan sebanyak 68 perkara, 79 perkara penuntutan, 83 perkara berkekuatan hukum tetap dan 99 perkara sudah dieksekusi oleh jaksa.
KPK pun telah mengembalikan hasil rampasan dari tindak pidana korupsi senilai Rp677,5 miliar pada 2024. Total selama lima tahun KPK jilid V menjabat yakni Rp2,49 triliun.
Meski demikian, Dewan Pengawas (Dewas) KPK periode 2019-2024 dalam Laporan Capaian Kinerja 5 Tahun menyebut kinerja penindakan komisi antirasuah perlu diperbaiki. Mereka tak menampik bahwa lembaga antirasuah masih perlu memperbaiki kinerja untuk perkara-perkara korupsi yang besar.
Ketua Dewas KPK saat itu, Tumpak Hatorangan Panggabean, mengamini bahwa lembaga antirasuah kini belum berani mengungkap kasus-kasus besar seperti periode-periode sebelumnya.
"Sayangnya kita belum berhasil mengungkap kasus-kasus yang besar, kasus-kasus yang kita beri nama dulu 'the big fish' itu jarang terjadi dilakukan oleh KPK," jelasnya, dikutip dari YouTube KPK, Senin (27/3/2023).
Alasan KPK Belum Tahan Hasto
Adapun proses penyidikan terhadap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tetap bergulir. Kemarin, Senin (13/1/2025), Hasto menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka kasus suap dan perintangan penyidikan.
Pada proses pengembangan penyidikan, KPK menemukan dugaan bahwa sebagian uang suap yang diberikan buron Harun Masiku ke Anggota KPU 2017-2022 Wahyu Setiawan berasal dari kantong Hasto.
"Dari proses pengembangan penyidikan, ditemukan bukti petunjuk bahwa sebagian uang yang digunakan untuk menyuap Sdr. Wahyu berasal dari Sdr. HK [Hasto]," jelas Ketua KPK Setyo Budiyanto pada konferensi pers, 24 Desember 2024 lalu.
Uang suap itu berkaitan dengan penetapan Harun sebagai anggota DPR PAW 2019-2024, menggantikan caleg terpilih PDIP dari Dapil Sumatra Selatan I yang meninggal dunia. Berdasarkan surat dakwaan Wahyu Setiawan, Jaksa KPK menyebut mantan anggota KPU itu menerima uang sebesar Rp600 juta.
Selain itu, KPK turut menduga Hasto melakukan perintangan penyidikan seperti memerintahkan Harun untuk menenggelamkan ponselnya dan melarikan diri pada saat OTT 2020 lalu. Dia juga diduga mengumpulkan dan mengarahkan sejumlah saksi kasus tersebut untuk tidak memberikan keterangan yang sebenarnya.
Hasto lalu diperiksa oleh penyidik KPK selama 3,5 jam pada Senin lalu. Namun, KPK memutuskan Hasto belum akan ditahan pada pemeriksaan perdananya sebagai tersangka.
Hasto tak berbicara soal pemeriksaannya usai keluar dari Gedung KPK. Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail namun membenarkan bahwa kliennya ditanyakan soal dua sprindik yang diterbitkan KPK, yakni suap penetapan anggota DPR 2019-2024 dan dugaan perintangan penyidikan. Dia menyebut proses pemeriksaan untuk hari ini telah tuntas.
"Saya ingin sampaikan bahwa proses pemeriksaan hari ini sudah selesai dilakukan untuk hari ini," ujar Maqdir kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (13/1/2025).
Sebelumnya, penetapan Hasto sebagai tersangka disetujui pada rapat expose yang dihadiri oleh pimpinan dan pejabat struktural Kedeputian Penindakan dan Eksekusi KPK, Desember 2024 lalu.
Expose itu digelar tidak lama setelah pimpinan KPK Jilid VI mulai menjabat. Setyo mengumumkan status Hasto dan advokat sekaligus kader PDIP Donny Tri Istiqomah selaku tersangka pada pengembangan penyidikan.
Kasus tersebut sudah mulai diusut KPK sejak 2020. Pada saat itu, lembaga antirasuah menetapkan empat orang tersangka yaitu anggota KPU Wahyu Setiawan, anggota Bawaslu Agustina Tio Fridelina, Saeful Bahri dan Harun Masiku. Hanya Harun yang sampai saat ini belum dibawa ke proses hukum.