Bisnis.com, JAKARTA -- Publik menunggu sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap sengketa hasil pemilihan presiden alias Pilpres 2024. Ada dua hal yang menjadi perhatian dalam sidang tersebut, apakah MK akan berpihak kepada keadilan substantif atau normatif?
MK adalah benteng terakhir dari konstitusi negara. Lembaga ini sering memperoleh julukan sebagai the guardian of constitution. Namun dalam proses Pilpres yang puncaknya terjadi pada 14 Februari 2024 lalu, MK mendapat banyak sorotan, terutama ketika Ketua MK waktu itu, Anwar Usman, membacakan putusan kontroversial, yang kemudian menjadi jalan bagi putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden alias cawapres Prabowo Subianto.
Meski kemudian Prabowo-Gibran menang setidaknya versi Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi Anwar Usman dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK. Ia terbukti melakukan pelanggaran etik berat. MK kemudian menjadi cercaan dari banyak pihak hingga muncul plesetan dari the guardian of constitution menjadi the guardian of family alias Mahkamah Keluarga (MK).
Adapun pembacaan putusan sengketa Pilpres 2024 yang diajukan oleh kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD akan menjadi langkah bagi MK untuk keluar dari stigma buruk imbas putusan No.90/PUU-XXI/2023. Putusan itu juga menjadi catatan penting apakah putusan MK masih berpihak pada proses pelaksanaan demokrasi yang substantif atau sekadar memenuhi kaidah-kaidah formal.
"Kita berharap masih ada nalar bagi para hakim di MK yang secara komperhensif menganalisis dengan meletakkan keputusannya pada konteks keadilan substantif ketimbang keadilan formal," ujar pengajar Hukum Pidana UGM Sri Wiyanti dalam acara Minggu kemarin.
Tuntutan agar MK menjadi benteng terakhir demokrasi sebenarnya telah mengalir dengan munculnya fenomena banjir pengajuan sabahat pengadilan alias amicus curiae. Ada lebih dari 30 amicus curiae dan itu merupakan yang paling banyak dalam sejarah sengketa Pilpres. Pengajuannya pun dari berbagai macam latar belakang mulai dari Megawati Soekarnoputri hingga tokoh agama seperti Rizieq Shihab.
Baca Juga
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengungkapkan, Megawati mengajukan diri sebagai amicus curiae bukan dalam kapasitas mantan presiden ataupun ketua umum partai politik melainkan sebagai warga negara biasa."Ibu Mega dalam kapasitas sebagai warga negara Indonesia," jelas Hasto.
Dia menunjukkan, Megawati turut menambahkan tulisan tangannya dalam kesimpulan opininya yang diajukan sebagai amicus curiae itu. Hasto pun membacakan tulisan tangan Megawati tersebut."Rakyat Indonesia yang tercinta, marilah kita berdoa semoga ketuk palu Mahkamah Konstitusi bukan merupakan palu godam melainkan palu emas," baca Hasto.
Sementara itu, pihak Din Syamsuddin dan Rizieq Shihab beralasan bahwa pengajuan diri dua tokoh itu sebagai amicus curiae merupakan dukungan moral kepada MK supaya memutus perkara sesuai dengan khitahnya.
“Hal tersebut adalah sebagai bentuk keprihatinan atas masalah bangsa dan negara, dan sebagai wujud tanggung jawab warga negara untuk menyelamatkan rakyat, bangsa, dan negara,” kata Kuasa Hukum Rizieq, Aziz Yanuar dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (17/4/2024).
Persiapan MK
Di sisi lain, Juru Bicara MK Fajar Laksono di Gedung MK mengatakan bahwa MK telah memanggil seluruh pihak untuk hadir dalam sidang pengucapan putusan sengketa Pilpres 2024. Di samping kedua pemohon, MK memanggil Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku termohon, paslon 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka selaku pihak terkait, serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) selaku pemberi keterangan.
Adapun, rangkaian sidang perkara PHPU Pilpres 2024 telah berlangsung sejak Rabu (27/3/2024) lalu. MK telah mendengarkan keterangan dan memeriksa alat bukti dari masing-masing pihak, termasuk yang berkaitan dengan dalil yang dimohonkan oleh kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
Secara garis besar, kedua pemohon meminta MK agar mendiskualifikasi paslon Prabowo-Gibran dan menggelar pemungutan suara ulang antara paslon 01 dan 03. Pasalnya, proses Pilpres 2024 disebut sarat kecurangan, salah satunya terkait dugaan politisasi bantuan sosial (bansos).
Berkaitan dengan hal tersebut, MK turut memanggil empat menteri yaitu Menko PMK Muhadjir Effendy, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, serta Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini untuk memberikan keterangan pada sidang yang berlangsung Jumat (5/4/2024) lalu. Mahkamah juga meminta keterangan dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Usai rangkaian pemeriksaan persidangan, majelis hakim MK menggodok putusan sengketa hasil Pilpres dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) yang dijadwalkan berlangsung hingga Minggu (21/4/2024) kemarin.
Berdasarkan Pasal 52 Peraturan MK (PMK) No. 4/2023 tentang Tata Beracara dalam Perkara PHPU Pilpres, pengambilan putusan dilakukan secara musyawarah mufakat. Apabila tidak mencapai mufakat, maka pengambilan dilakukan berdasarkan jumlah suara terbanyak, disusul penentuan keputusan oleh Ketua RPH.
“Dalam hal Putusan Mahkamah diambil berdasarkan suara terbanyak, pendapat Hakim yang berbeda [dissenting opinion] dimuat dalam Putusan Mahkamah,” demikian bunyi ayat (5) dari pasal tersebut.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 51 pada beleid yang sama, Putusan Mahkamah dapat berupa putusan, putusan sela, atau ketetapan. Dalam amar Putusan Mahkamah, MK dapat menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima; menyatakan menolak permohonan pemohon; atau menyatakan mengabulkan permohonan pemohon, membatalkan penetapan hasil Pilpres, dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
Optimisme Paslon
Berdasarkan catatan Bisnis, baik paslon 01, 02, maupun 03, seluruhnya optimistis menyambut putusan MK terkait sengketa PHPU Pilpres 2024. Tim Nasional Pemenangan Anies-Muhaimin (Timnas AMIN), misalnya, yakin bahwa MK akan menjaga martabatnya melalui putusan yang adil.
“Optimistis bisa menang karena MK akan menjaga muruahnya,” kata Juru Bicara Milenial Timnas Pemenangan AMIN Usamah Abdul Aziz di sela-sela open house Anies Baswedan di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Rabu (10/4/2024).
Menurutnya, tim hukum Anies-Muhaimin telah melakukan persiapan yang terbaik. Hal tersebut tercermin selama rangkaian pemeriksaan persidangan sengketa Pilpres 2024 yang telah berlangsung sejak penghujung Maret.
“Kami lihat nanti tanggal 22 [April] hasilnya dan putusannya menjadi yang terbaik. Kami yakin MK akan memberikan yang terbaik untuk bangsa dan ingin memperbaiki citranya di mata publik supaya bisa lebih baik lagi,” jelas Sami, sapaan akrabnya.
Senada, kubu paslon 03 Ganjar-Mahfud juga yakin bahwa putusan sengketa Pilpres dapat menjadi momentum MK untuk mengembalikan muruahnya. Ganjar secara khusus menyoroti perhatian publik terhadap MK saat ini, salah satunya melalui pengajuan sebagai sahabat pengadilan alias amicus curiae.
Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, menjadi salah satu pihak yang mengajukan amicus curiae kepada MK. Meskipun tak mempengaruhi putusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Mahkamah, Ganjar berharap bahwa amicus curiae itu mampu mendorong hakim untuk mengambil putusan yang adil.
"Saya kira ini momentum yang luar biasa buat MK untuk tidak membuat April Mop, tetapi memperingati apa yang pernah dilakukan oleh seorang Kartini, habis gelap terbitlah terang. Dari kondisi MK yang selama ini menjadi cacian, makian, stempel-stempel yang kurang baik dengan putusan MKMK, rasanya inilah momentum untuk mengembalikan muruah MK," ujarnya setelah bertemu Megawati di kediamannya, Teuku Umar, Jakarta Pusat, Selasa (16/4/2024).
Sementara itu, kubu paslon 02 Prabowo-Gibran meminta semua pihak menerima apa pun putusan MK nanti Wakil Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran, Fahri Bachmid, percaya bahwa putusan itu akan mencakup dalil pemohon secara menyeluruh.
Pasalnya, setiap pihak telah diberikan kesempatan yang sama untuk membawa berbagai alat bukti dan ahli dalam persidangan, baik untuk mendukung ataupun membatalkan dalil pemohon. MK juga telah memanggil empat menteri untuk memberikan keterangan berkaitan dengan dalil tersebut.
Itu sebabnya, dia menilai bahwa putusan MK harus berangkat dari dua dasar. Pertama ialah landasan konstitusi alias Undang-undang Dasar (UUD) 1945, sementara yang kedua adalah alat bukti dan keyakinan hakim.
"Jadi, hakim itu harus diyakinkan dengan alat bukti. Hakim tidak boleh memutus dengan contoh, tidak boleh memutus dengan opini, tidak boleh memutus dengan hipotesa," ujar Fahri di kawasan Stadion GBK, Jakarta Pusat, Minggu (21/4/2024).
Kepercayaan Publik
Lembaga survei Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei nasional terkait persepsi publik menjelang pengucapan putusan sengketa hasil Pilpres 2024.
Direktur Eksekutif Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi menyebut bahwa tren kepercayaan publik terhadap MK naik jika dibandingkan saat mengeluarkan putusan No. 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres-cawapres pada Oktober 2023 silam.
“[Tingkat kepercayaan publik terhadap] MK ini sempat turun Oktober lalu, pada angka 60-an%. Sekarang sudah 73%,” katanya dalam pemaparan hasil survei secara virtual, Minggu (21/4/2024).
Burhanuddin menjelaskan, kenaikan persentase ini didorong oleh sejumlah putusan MK yang dinilai positif di mata publik dalam beberapa waktu terakhir. Di antaranya adalah putusan MK yang melarang jaksa agung berasal dari partai politik, peninjauan ulang ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4%, hingga penataan jadwal pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024.
“Kemudian juga transparansi MK terkait sidang PHPU ini juga saya kira membantu MK memulihkan kepercayaan terhadapnya, terutama pasca-babak belur setelah mengeluarkan putusan nomor 90 yang dipersoalkan banyak orang,” sambungnya.
Dalam hasil sigi yang sama, dijelaskan pula bahwa mayoritas masyarakat percaya MK akan mengeluarkan putusan yang adil dalam perkara yang diajukan oleh pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud itu.
“Dari seluruh responden, 71,8% percaya bahwa MK akan mengambil keputusan yang adil [terkait sengketa hasil pilpres],” kata Burhanuddin.
Sementara itu, 21,2% lainnya menyatakan kurang atau tidak percaya bahwa MK akan menjatuhkan putusan yang adil. Sebanyak 7% responden tidak menjawab atau menyatakan tidak tahu.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa putusan nanti akan menjadi pertaruhan kepercayaan publik terhadap MK.