Bisnis.com, JAKARTA -- Partai Persatuan Pembangunan (PPP) secara mengejutkan gagal lolos ke parlemen. Perolehan suaranya di bawah ambang batas parlemen alias parliamentary threshold. Persisnya hanya 3,87%.
Ini adalah kegagalan pertama PPP dalam kurun 50 tahun terakhir. Sebagai partai tertua peserta pemilihan umum alias Pemilu, partai berlambang Kabah itu terancam tersisih dan berada jauh dari hiruk pikuk politik 5 tahun ke depan.
Nasib PPP tidak semujur PDI Perjuangan (PDIP) yang lebih muda 6 hari. PPP belum pernah menang pemilu. Partai berlambang kabah itu bahkan sering diterpa badai konflik internal. Keputusan elite seringkali berseberangan dengan grass root. Akibatnya perolehan suaranya dalam beberapa pemilu terakhir tidak terlalu signifikan.
Sejatinya tanda-tanda berakhirnya kiprah PPP di Senayan sudah terendus jauh-jauh hari. Mayoritas lembaga survei sudah meramal hal itu karena elektabilitas PPP berada di peringkat bawah. PPP terancam dan kini pasti tidak lolos ke Senayan. Hasil survei Litbang Kompas yang dipublikasikan pada Desember 2023 lalu, misalnya, mencatat elektabiltas PPP hanya di angka 2,4 persen.
Survei Indikator Politik yang dirilis 26 Desember 2023 lalu juga mengungkap kecenderungan yang sama. Elektabilitas PPP versi Indikator Politik sebesar 2,8 persen. Namun demikian, versi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) merilis angka yang lebih baik, elektabilitas PPP sebesar 3,5 persen.
Proyeksi suara dalam bentuk elektabilitas merupakan yang paling rendah sejak jaman PPP berdiri 51 silam. Pasalnya, PPP pernah menikmati kejayaan pada masa Orde Baru karena menjadi satu-satunya 'rumah besar' bagi umat Islam.
Baca Juga
Sejarah PPP
Keberadaan PPP tak bisa dilepaskan dari Orde Baru. PPP dibentuk pada 5 Januari 1973 atau lebih tua 6 hari dari PDI yang kini telah berubah menjadi PDI Perjuangan (PDIP). Partai ini merupakan fusi dari sejumlah partai atau gerakan politik Islam.
Partai politik yang menjadi satu dalam tubuh PPP antara lain Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).
Penyederhanaan partai, jika menilik ke belakang, tidak lepas dari kebijakan kontra-revolusi, depolitisasi, oleh rezim Orde Baru. Salah satu mastermind-nya adalah tokoh intelijen, Ali Murtopo.
Strategi kontra revolusi dan dipolitisasi itu bisa ditelusuri dalam buku 25 Tahun Akselerasi Modernisasi Pembangunan yang ditulis oleh jenderal asal Blora, Jawa Tengah itu.
Namun, yang perlu dicatat, depolitisasi ala Orde Baru tak benar-benar meniadakan partai politik. Hanya jumlah partai yang disederhanakan. Partai berlatar belakang Islam kemudian dipaksa bergabung jadi satu yakni PPP. Golongan nasionalis digabung menjadi PDI.
Sementara rezim daripadanya Suharto, menggunakan Golkar sebagai alat politiknya. Golkar kemudian menjadi salah satu motor politik, selain ABRI, Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan sampai 32 tahun lamanya.
Ali Murtopo mengungkapkan alasan pelaksanaan politik masa mengambang dan penyederhanaan atau fusi partai akan menyetabilkan politik nasional. Sistem multipartai seperti yang diterapkan pada masa Orde Lama hanya akan membuat masyarakat terbelah. Imbasnya politik tidak stabil dan perekonomian tidak berjalan optimal.
"Dengan demikian, rakyat di desa tidak perlu menghabiskan waktu dalam kancah perjuangan politik. Tetapi menyibukkan diri dalam usaha-usaha pembangunan," demikian tulis Ali Murtopo dalam buku tersebut.
Kelak, Ali Murtopo membuktikan gagasannya ini sangat efektif. Orde Baru menikmati stabilitas politik dan ekonomi sepanjang dekade 1970-an. Gangguan keamanan bisa ditekan. Pembangunan mulai berjalan.
Konflik Internal
Kendati demikian, penggabungan partai oleh pemerintah Orde Baru tidak serta merta membuat tensi politik stabil. Fusi partai Islam justru menjadikan internal PPP rentan. PPP bisa dibilang menjadi salah satu partai yang kerap terlibat kisruh internal.
Jejak konflik internal di PPP bisa ditelusuri puluhan tahun lalu, tepatnya pada dekade 1970-an. Sekadar catatan, meski memiliki basis massa NU, pimpinan PPP pada masa awal pembentukannya jarang berasal dari latar belakang NU.
Ketua Umum PPP pertama adalah Mohammad Syafaat Mintaredja. Dia berlatar belakang Parmusi. Syafaat kemudian diganti oleh Djaelani Naro dalam sebuah konfrontasi kepempimpinan yang cukup keras pada waktu itu. Djaelani sendiri adalah orang dekat Ali Murtopo, tangan kanan Suharto.
Sementara konflik suksesi yang terjadi belakangan ini sejatinya berakar dari beda preferensi politik antara elite PPP saat Pemilihan Presiden atau Pilpres 2014 lalu.
Konflik saat itu terjadi antara kubu Suryadharma Ali - Djan Faridz yang waktu itu memilih untuk mendukung calon presiden Prabowo Subianto dan Romahurmuziy di kubu Joko Widodo (Jokowi).
Namun di tengah konflik yang sedang berkecamuk, Suryadharma Ali tersandung korupsi. Dia kemudian divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat. Romahurmuziy berada di atas angin. Konflik beralih antara Djan Faridz vs Romahurmuziy.
Dualisme kepemimpinan PPP terjadi. Djan Faridz kemudian mendeklarasikan diri sebagai Ketua Umum PPP. Hal itu sesuai dengan hasil Muktamar PPP di Jakarta. Sementara Romahurmuziy Ketua Umum versi Muktamar Surabaya.
Usai aksi saling deklarasi, baik kubu Djan Faridz maupun Romahurmuziy mengklaim sebagai pemilik PPP yang sah. Konflik antara kedua elite politik ini kemudian berimbas terhadap suara PPP.
Pada saat Pilpres 2019 lalu, misalnya, banyak kader PPP tidak puas dengan Romahurmuziy yang mendukung Jokowi. Kader PPP dan basis masa kepemudaan mereka yakni Gerakan Pemuda Kakbah (GPK) di kawasan Yogyakarta dan Kedu, misalnya, condong ke Prabowo Subianto.
Tidak heran jika konflik yang berakar dari elite politik partai Kakbah tersebut merembet ke akar rumput. Beberapa kali massa pendukung Romahurmuziy dan Djan Faridz maupun PPP yang tidak mendukung Jokowi saling berhadapan di kedua daerah tersebut.
Akibatnya pada Pemilu 2019, suara PPP tergerus cukup signifikan. Apalagi, dalam perjalanan Pemilu 2019, Romahurmuziy ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Suara PPP anjlok cukup jauh dan hampir saja tidak lolos parliamentary threshold.
Suharso Monoarfa kemudian mengambil alih kendali PPP. Semula jabatannya hanya pelaksana tugas. Pada tahun 2020 dia terpilih sebagai Ketua Umum PPP. Suharso pada tahun lalu juga mencoba untuk menjembatani dua kubu yang sedang bertikai.
Namun pada tahun 2022, tiga anggota Mahkamah Partai memutuskan untuk mencopot Suharso dengan dalih pernyataannya tentang 'amplop kyai'. M Mardiono, orang dekat Presiden Joko Widodo (Jokowi) naik ke tampuk kekuasaan. Upaya islah kemudian diupayakan. Konflik sekilas dapat dihindarkan.
Namun demikian, terus tergerusnya suara PPP ini tentu ironi. Pasalnya, PPP sempat menjadi rumah besar bagi kelompok politik Islam. Pada masa Orde Baru, suara PPP bahkan selalu berada di peringkat kedua di bawah Golkar.
Golongan Besar, Suara Sedang
PPP merupakan fusi dari berbagai macam ideologi politik maupun partai politik yang berlandaskan Islam. Fusi ini terjadi seiring dengan penerapan 'politik massa mengambang' yang dijalankan oleh Ali Murtopo, saat rezim Orde Baru sedang mengonsolidasikan kekuasan pada 1970-an silam.
Kendati demikian, fusi partai Islam itu tidak serta merta menjadikan PPP sebagai pemenang Pemilu. Suara PPP selalu berada di bawah superioritas Golkar.
Pada pemilu 1977, misalnya, PPP hanya berhasil meraup suara sebanyak 99 kursi atau 27,5 persen dari 360 kursi parlemen. Angka ini jauh di bawah Golkar yang memperoleh 232 kursi atau 64,4 persen suara. PDI adalah cerita lain dalam sejarah Orde Baru. Partai ini selalu memperoleh suara paling sedikit dalam setiap Pemilu berlangsung.
Pada tahun 1982, suara PPP justru tergerus. Partai ini hanya memperoleh 94 kursi atau turun sebanyak 5 kursi. Demikian juga dengan PDI yang turun dari 29 menjadi 24 kursi. Suara beralih ke Golkar yang naik 10 kursi menjadi 242.
Suara PPP kembali tergerus pada pemilu 1987 menjadi 61 kursi atau anjlok menjadi 15,2 persen kursi di parlemen. Suara PPP digerus oleh melonjaknya suara PDI yang naik menjadi 40 kursi akibat Megawati Effect.
Pada dekade 1990-an, suara PPP membaik. Era keterbukaan menggerus suara Golkar sebagai penguasa. Pada pemilu 1992, PPP memperoleh kursi sebanyak 62 atau sebanyak 15,5 persen dari 400 kursi.
PDI menjadi partai yang paling banyak memperoleh swing voter dari Golkar dengan perolehan 56 kursi atau mampu tembus di angka 14 persen. Suara Golkar tergerus menjadi 282 kursi.
Menariknya, suara PPP di Pemilu 1997 kembali melonjak. PPP memperoleh sebanyak 89 kursi atau 20,9 persen dari 425 kursi. Melonjaknya suara PPP terjadi usai represi pemerintah Orde Baru terhadap PDI pro Mega (Megawati Soekarnoputri). Terutama setelah peristiwa 27 Juli 1996 atau Kuda Tuli.
Golkar suaranya kembali naik menjadi 325 kursi karena mendapat sokongan militer dan penguasa. Sementara PDI harus puas di peringkat buncit. Kursinya hanya tersisa sebanyak 11 di DPR akibat represi Orde Baru.
Pada awal reformasi dengan sistem multi partai, nasib PPP sebenarnya lebih baik. Pada Pemilu 1999, mereka mendapat kursi sebanyak 58, Pemilu 2004 58 suara, Pemilu 2009 turun menjadi 38 suara, tahun 2014 39 kursi.
Namun pada Pemilu 2019, suara PPP anjlok menjadi 29 kursi atau turun 20 kursi. Pemicunya tentu karena kisruh dan konflik internal. Pemilu 2024 jelas merupakan tantangan lain bagi PPP. Elektabilitas mereka kini hanya di kisaran 2 - 3 persen.
Sayangnya, Dewi Fortuna sepertinya tidak berpihak kepada PPP. Mereka gagal ke Senayan. Tidak ada satupun kursi tersisa. PPP, partai tertua, rumah besar umat Islam kini harus terdepak dari gegap gempita politik Senayan.