Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan ada 20 daerah yang mengerek tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di atas 100%. Salah satunya adalah Pati, Jawa Tengah.
Tito menjelaskan kenaikan PBB-P2 merupakan konsekuensi dari Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD). UU itu mengatur bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak dan retribusi di daerahnya.
Aturan turunan dari UU HKPD, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No.35/2023 mengatur bahwa pemungutan pajak dan retribusi daerah termasuk NJOP serta PBB-P2 harus berlandaskan peraturan daerah (perda). Kemudian, besaran tarifnya diatur dalam peraturan kepala daerah.
Tito menyebut beberapa pemda yang menaikkan tarif PBB-P2 di daerahnya karena adanya penyesuaian NJOP yang dapat dilakukan setiap tiga tahun sekali. Penyesuaian NJOP itu mengikuti harga pasar, sehingga kemudian membuat PBB-P2 ikut terkerek naik.
"Tetapi ada klausul, yaitu harus mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Yang kedua juga ada partisipasi dari masyarakat. Jadi harus mendengar suara publik juga," terangnya pada konferensi pers RAPBN 2026 di kantor Ditjen Pajak Kemenkeu, Jakarta, Jumat (15/8/2025).
Menurut mantan Kapolri itu, ada 20 daerah yang diketahuinya menaikkan tarif PBB-P2. Kenaikannya bervariasi antara kisaran 5% sampai dengan 10%, serta ada sejumlah daerah yang melampaui 100%.
Baca Juga
Jumlahnya mencapai 20 daerah. Salah satunya yakni Pati, yang belakangan ini menjadi sorotan publik karena menaikkan PBB-P2 hingga 250%.
Akan tetapi, dari 20 daerah yang dimaksud, sudah ada dua daerah yang membatalkan peraturan kepala daerah ihwal kenaikan tarif PBB-P2 itu. Yakni Pati dan Jepara, di mana dua-duanya berada di Jawa Tengah.
Sementara itu, ada tiga daerah lain yang baru membuat perkada untuk mengerek tarif PBB-P2 pada 2025. Adapun 15 daerah lainnya telah menerbitkan aturan soal kenaikan tarif PBB-P2 sejak 2022-2024.
Untuk itu, Tito membantah apabila efisiensi anggaran belanja pemerintah pusat yang diberlakukan sesuai Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 secara tidak langsung mendorong penaikkan tarif PBB di daerah-daerah.
Adapun Inpres No.1/2025 mengatur efisiensi anggaran belanja negara 2025 sebesar Rp306,6 triliun yang terdiri dari Rp256,1 triliun belanja pemerintah pusat, serta Rp50,59 triliun transfer ke daerah.
"Artinya tidak ada hubungannya, 15 daerah, tidak ada hubungannya dengan efisiensi yang terjadi di tahun 2024. Nah jadi sekali lagi inilah inisiatif baru dari teman-teman daerah, hanya lima daerah yang melakukan kenaikan NJOP dan PBB di tahun 2025. Yang lainnya 2022-2024," terang Tito.
Kendati demikian, Tito mengakui masih adanya ketimpangan kapasitas fiskal di antara berbagai daerah di Indonesia. Ada daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang besar berkat Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi, sedangkan sebaliknya lebih banyak bergantung ke transfer dari pemerintah pusat.
Beberapa di antaranya, terang Tito, adalah daerah baru seperti Provinsi Papua Pegunungan yang baru ditetapkan beberapa tahun lalu.
Mendagri sejak 2019 itu pun mengatakan bakal memberikan atensi khusus untuk daerah-daerah dengan PAD rendah. Tujuannya, agar daerah-daerah tersebut tetap bisa menjalankan pemerintahannya atau sekadar standar pelayanan minimal (SPM).
PAD pun berasal dari pajak dan retribusi daerah, hibah serta BUMD. Tito mendorong agar pemerintah daerah lebih inovatif dalam mencari sumber penerimaan. Namun, dia berpesan agar cara-cara yang digunakan tidak memberatkan masyarakat.
"Di antaranya misalnya menghidupkan kemudahan berusaha, perizinan, ada mal-mal pelayanan publik yang sudah dibuka untuk mempermudah masyarakat berusaha. Banyak masyarakat yang sukses karena itu," paparnya.