Bisnis.com, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menilai usulan Petisi 100 untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak jelas.
Dia mengatakan aturan penghentian pemimpin negara baru optimal ketika presiden telah melakukan tindakan melawan hukum, seperti pengkhianatan terhadap negara, hingga korupsi.
"Nah, sementara itu kan tidak diuraikan dengan jelas, apa sih yang dilanggar oleh pak Jokowi terhadap Pasal 7B itu," kata Yusril di Bareskrim Polri, Senin (15/1/2024).
Yusril juga menyinggung politisi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu soal angket pemakzulan Jokowi di DPR atas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023. Kini, dia menyebut angket itu tidak terendus lagi.
"Tapi apa yang dilontarkan pak masinton hilang begitu saja. Ya kalau sekarang tiba-tiba mau ada pemakzulan, ya tanpa dasar yang jelas dan dukungan dari DPR, saya kira itu tidak akan ada dampak ke presiden sendiri," tuturnya.
Di samping itu, dia juga sepakat dengan Menkopolhukam, Mahfud MD bahwa kementeriannya itu tidak bisa mengurusi soal pemakzulan presiden.
Baca Juga
"Saya sependapat dengan pak Mahfud bahwa pemakzulan itu bukan urusan menkopolhukam itu urusannya DPR sebenarnya lebih baik mereka datang ke DPR dan lihat apa reaksi dari fraksi fraksi-fraksi apakah mau merespons adanya pemakzulan ini," pungkas Yusril.
Sebelumnya, sejumlah tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 mengajukan pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (9/1/2024) ke Kemenkopolhukam.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Bisnis, Petisi 100 merupakan petisi yang ditandatangani oleh tokoh dari bermacam daerah dan profesi. Salah satunya adalah politikus kawakan Amien Rais. Pendiri Partai Ummat itu menjadi salah satu nama besar yang merepresentasikan Petisi 100 dalam berbagai kesempatan.
Selain itu, beberapa purnawirawan TNI turut menjadi bagian dari Petisi 100. Di antaranya adalah mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI (Purn) Tyasno Sudarto; Letjen TNI (Purn) Yayat Sudrajat; hingga Mayjen TNI (Purn) Deddy S Budiman.