Bisnis.com, JAKARTA - Gencatan senjata di Gaza, Palestina sedang berlangsung. Tank-tank Israel mulai meninggalkan Jalur Gaza. Gencatan senjata dimulai dengan pembicaraan yang dimediasi oleh Qatar dan Mesir, serta Amerika Serikat (AS) untuk menentukan titik temu antara Hamas dengan Israel.
Kesepakatan yang telah dicapai membuat kedua belah pihak, yakni Hamas dan Israel harus mematuhi implementasi perjanjian gencatan senjata yang dimulai sejak Jumat (24/11/2023).
Melansir TASS, Hamas telah mengumumkan kesepakatan dengan Israel untuk melakukan gencatan senjata selama 4 hari di Jalur Gaza.
“Setelah berhari-hari perundingan yang alot, kami mengumumkan bahwa kami mencapai kesepakatan mengenai gencatan senjata kemanusiaan selama 4 hari berkat upaya berkelanjutan dan terampil dari Qatar dan Mesir,” kata Hamas.
Selain itu, sebagai bagian dari gencatan senjata semua lalu lintas udara juga akan dihentikan sepenuhnya di bagian selatan dan utara Gaza, yang akan dihentikan setiap hari antara pukul 10.00 hingga 16.00 waktu setempat.
Tercapainya gencatan senjata membuat ratusan truk yang membawa bantuan kemanusiaan, darurat dan medis, serta bahan bakar akan diizinkan memasuki Jalur Gaza, tanpa kecuali, di Utara dan Selatan.
Baca Juga
Gencatan senjata bisa dicapai dengan adanya syarat yang harus dipenuhi antara kedua pihak. Hamas menjanjikan akan membebaskan 50 sandera di Gaza yang merupakan warga Israel hingga warga negara asing (WNA) sebagai imbalan atas pembebasan 150 tahanan dari penjara Israel.
Kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa Israel akan menghentikan permusuhan selama 1 hari untuk membebaskan 10 sandera lagi. Kini lebih dari 200 orang masih ditahan oleh militan Hamas.
Kementerian Kehakiman Israel menerbitkan daftar 300 tahanan Palestina yang dapat dibebaskan berdasarkan kesepakatan tersebut, pada Rabu (22/11/2023).
Netanyahu menekankan bahwa Israel memprioritaskan pemulangan seluruh sandera sesuai dengan rencana yang telah disetujui, namun tidak berarti bahwa Hamas di Jalur Gaza akan diberikan kebebasan total.
Dia mengatakan bahwa angkatan bersenjata Israel siap untuk melanjutkan serangan jika gencatan senjata di Jalur Gaza dilanggar.
“Kami akan bertindak bijaksana, dan, setelah hari-hari gencatan senjata berakhir, kami akan kembali berperang. Mungkin, kami harus melakukan hal itu lebih awal; mungkin, akan ada pelanggaran [terhadap gencatan senjata], dan kami tidak akan tinggal diam," katanya.
Menurut data dari World Population Review, hingga saat ini terdapat 139 negara yang secara resmi memberikan pengakuan bilateral kepada Palestina, dan 55 negara tidak mengakui Palestina sebagai negara, salah satunya AS. Pengakuan itu diberikan setelah Dewan Nasional Palestina mendeklarasikan kemerdekaan pada 15 November 1988 di Aljazair.
Sejumlah negara menyambut baik tercapainya gencatan senjata antara Hamas dengan Israel di Jalur Gaza, tidak terkecuali Indonesia.
Indonesia menyambut positif dicapainya kesepakatan jeda kemanusiaan atau gencatan senjata sementara di Gaza, Palestina.
Selain itu, juga menyampaikan apresiasi terhadap upaya mediasi yang diprakarsai oleh Qatar untuk menciptakan gencatan senjata di Jalur Gaza.
"Kesepakatan tersebut juga diharapkan akan membuka peluang bagi pengakhiran konflik secara permanen serta dimulainya pembahasan yang serius bagi perdamaian yang menyeluruh dan adil," kata Kemlu RI dalam keterangan resmi, Rabu (22/11/2023).
Adapun hal itu diutarakan setelah sebelumnya Indonesia mengutuk sekeras-kerasnya serangan Israel terhadap Rumah Sakit Indonesia (RSI) di Gaza yang menewaskan sejumlah warga sipil.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia Retno Marsudi mengatakan bahwa serangan tersebut merupakan pelanggaran nyata terhadap hukum humaniter internasional.
"Semua negara, terutama yang memiliki hubungan dekat dengan Israel harus menggunakan segala pengaruh dan kemampuannya, untuk mendesak Israel menghentikan kekejamannya," katany, dalam keterangan resmi.
Sejak eskalasi dimulai pada 7 Oktober 2023, pejabat senior Hamas Khalil al-Hayya mengatakan jumlah korban tewas di Jalur Gaza telah melebihi 14.000 jiwa, dan korban luka saat ini telah lebih dari 33.000 orang hingga Selasa (21/11/2023).
Menurut pejabat Hamas, sebanyak 14.128 orang di antaranya termasuk 5.840 orang anak-anak, tewas di Jalur Gaza. Jumlah orang yang dilaporkan hilang meningkat menjadi 6.800 orang, dengan sekitar 4.500 di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Selain itu, jumlah korban di kalangan tenaga medis, dokter, perawat, dan paramedis, mencapai 205 orang, perwakilan pertahanan sipil 22 orang, dan jurnalis 62 orang.
Dengan jumlah korban yang terus bertambah, Netanyahu berjanji akan melanjutkan serangan ke Jalur Gaza setelah gencatan senjata selama 4 hari tersebut. Selanjutnya, gencatan senjata mungkinkah akan berlanjut? atau perang di Timur Tengah justru semakin memanas?
Masa depan Gaza
Pengamat sekaligus Senior di Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University Lawrence Anderson yang pernah menjabat sebagai Duta Besar Singapura untuk Kamboja, Arab Saudi, dan Bahrain memberikan tanggapannya.
Dia mengatakan bahwa gencatan senjata di Gaza hanya bersifat sementara dan pertempuran di Gaza diperkirakan akan berlanjut setelahnya.
Pertempuran akan berlanjut bersamaan dengan upaya para pemain kunci termasuk Qatar, Mesir, dan AS untuk menekan kedua belah pihak agar membebaskan semua sandera dan mengakhiri perang.
Menurutnya, Israel tidak bisa menang secara militer. Bahkan jika Hamas dihancurkan, kelompok teroris Palestina lainnya seperti Jihad Islam Palestina, akan mengambil alih posisi Hamas.
Selain itu, Hamas juga tidak bisa menang, meskipun popularitasnya di kalangan warga Palestina dan muslim di seluruh dunia telah melonjak, Hamas tidak akan diizinkan menguasai Gaza.
Dia mengatakan bahwa saat pertempuran saat ini berhenti dan setelah gencatan senjata sementara, Saudi akan mengakui Israel.
Sebelumnya, Saudi akan berupaya mendapatkan konsesi dari Israel dan jaminan keamanan dari AS, yang semuanya akan membentuk aliansi de facto.
"Meskipun tidak ada pemenang yang jelas dari perang ini, yang pasti yang dirugikan adalah 2 juta warga Palestina di Gaza. AS masih menjadi pemain dominan di kawasan ini, namun tidak sepenuhnya kuat," katanya, dilansir CNA, Sabtu (25/11/2023).
Menurutnya, AS akan terus memberikan dukungan finansial dan material kepada Israel, namun juga akan berusaha mengekang tindakan militer Israel yang berlebihan selain berfokus pada pembebasan semua sandera dan penerapan jeda kemanusiaan yang lebih lama.
Meskipun AS mampu memenuhi kebutuhan energinya sendiri, AS tidak akan membiarkan cadangan minyak Arab Saudi atau simpanan gas alam Qatar jatuh ke tangan pemerintah yang tidak bersahabat seperti Iran, Rusia, dan kelompok militan.
"Konsekuensinya, Washington tidak akan meninggalkan perannya sebagai penjamin keamanan sekutu-sekutunya di Teluk. Negara Palestina yang kuat kini hanya tinggal impian belaka," ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa solusi dua negara yang mengakui hak Israel untuk hidup berdampingan dengan negara Palestina tidak menyelesaikan masalah mendasar geografi.
Negara Palestina yang bersatu berarti pemisahan Israel secara de facto, yang tidak akan pernah diterima oleh Israel. Hal ini menjadikan pemisahan antara Gaza dan Tepi Barat saat ini sebagai kenyataan terbaik.
"Agar negara Palestina yang terpecah belah bisa mandiri dan sejahtera, negara tersebut harus membangun hubungan baik dengan negara tetangganya, Israel. Sayangnya, serentetan pertempuran baru-baru ini hanya akan memperkuat permusuhan, ketidakpercayaan, dan kemarahan antara Israel dan Palestina," ucapnya.
Kedua belah pihak percaya telah sama-sama benar secara hukum dan moral karena Tuhan ada di pihak mereka, sehingga prospek perdamaian abadi di tahun-tahun mendatang sangat kecil kemungkinannya.
"Kenyataan pahitnya adalah, baik Israel maupun Palestina tidak menginginkan solusi dua negara. Setiap pemimpin Palestina, apakah itu Mahmoud Abbas, Presiden Otoritas Nasional Palestina, atau penerusnya, mengetahui bahwa setiap penyelesaian damai memerlukan kompromi dan menerima persyaratan yang tidak akan sepenuhnya memuaskan rakyat Palestina. Ekstremis Zionis di pihak Israel juga menentang solusi dua negara," tandasnya.
Setiap pemimpin Palestina atau Israel yang menandatangani solusi dua negara kemungkinan besar akan menghadapi risiko pembunuhan oleh para ekstremis.
Menurutnya, tidak ada kemungkinan bahwa Israel, AS dan banyak negara Arab akan menerima kembali kekuasaan Hamas di Gaza.
Israel juga tidak ingin menduduki Gaza secara permanen, yang akan tetap menjadi sarang kekerasan teroris, kecuali Israel dapat mengusir seluruh warga Palestina.
Anderson mengatakan bahwa hasil yang mungkin terjadi setelah pertempuran berhenti adalah kembalinya Otoritas Nasional Palestina ke Gaza, yang didukung oleh kekuatan multi-nasional dengan komponen Arab.
Meski begitu, mustahil bagi Otoritas Nasional Palestina untuk melakukan demiliterisasi dan deradikalisasi di Jalur Gaza.
Untuk saat ini, komunitas internasional akan terus mendorong solusi dua negara sebagai pilihan diplomatik dan politik yang paling dapat diterima dalam konflik Israel-Palestina.