Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bukan Penyelundupan, KPK Ungkap Asal-usul Temuan Ekspor 5,3 Juta Ton Nikel ke China

KPK menyebut temuan ekspor 5,3 juta ton ore nikel Indonesia ke China bukan merupakan penyelundupan.
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (24/7/2023). JIBI/Bisnis- Akbar Evandio
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (24/7/2023). JIBI/Bisnis- Akbar Evandio

Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut temuan ekspor 5,3 juta ton ore nikel Indonesia ke China bukan merupakan penyelundupan. 

Hal tersebut disampaikan oleh Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan. Dia mengatakan kedeputiannya menemukan bahwa pengiriman ore nikel ke China sebagaimana temuan Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V KPK bukan merupakan penyelundupan. 

"Penyelundupan itu kan barang tidak boleh keluar, [lalu] dikeluarkan. Kalau ini enggak," jelasnya saat ditemui di Gedung ACLC KPK, dikutip Kamis (14/9/2023). 

Pengiriman ore nikel ke China itu, jelas Pahala, berasal dari perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) besi bernama PT Sebuku Iron Lateritic Ores atau SILO di Kalimantan Selatan. Perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan itu mengekspor besi salah satunya ke China. 

Berdasarkan laporan surveyor yang didapatkan KPK, Pahala menyebut terdapat 84 kali pengiriman komoditas besi dari SILO ke China. Pengiriman itu dilihat dari bill of lading atau surat tanda terima barang yang telah muat dalam kapal angkut. 

Usai Satgas Korsup V Wilayah KPK mengungkap temuan 5,3 juta ton ore nikel Indonesia diekspor ke China 2020-2022, Pahala pun meminta data bill of lading dari Bea Cukai China terkait dengan pengiriman besi itu. Pahala menyebut terdapat 84 kali pengiriman besi ke Negeri Panda, namun hanya 73 data bill of lading yang diberikan oleh pihak Bea Cukai negara tersebut. 

Kemudian, sebanyak 63 dari 73 bill of lading itu menunjukkan terdapat nikel yang "menempel" di besi dengan rata-rata kadar 0,9 persen. 

"Jadi, 63 pengiriman [besi] yang ada nikelnya di atas 0,5 persen dihitung di China sebagai nikel. Dilihat orang Indonesia, berarti ada ekspor nikel, padahal nikel yang [menempel] bareng besi," tuturnya.

Pahala menjelaskan perbedaan asumsi itu berangkat dari perbedaan regulasi yang diterapkan di dua negara. Di Indonesia, lanjutnya, eksportir hanya bisa memperoleh royalti terhadap komoditas yang didaftarkan sebagaimana IUP yang dimiliki. Dalam kasus PT SILO, perusahaan itu hanya memiliki IUP untuk komoditas besi. 

Oleh karena itu, surveyor pun hanya akan mencatat komoditas yang bakal diekspor sesuai dengan IUP dari pihak eksportir. 

Sementara itu, otoritas di China menganggap bahwa nikel dengan kadar 0,5 persen, kendati menempel dengan komoditas/mineral lain, dihitung sebagai nikel dengan HS code yang sama.

"Menurut Indonesia, kalau IUP-nya [perusahaan eksportir] besi, ya hitung besi saja. Sampai di China, lain lagi, kalau kadar nikel 0,5 persen ke atas itu kodenya [HS code] 26040000, nikel dia," jelas Pahala. 

Potensi Kerugian Cuma Rp14 Miliar

Adapun KPK menemukan potensi selisih nilai ekspor ore nikel tersebut sebesar Rp41 miliar, berdasarkan 63 bill of lading yang didapatkan. Angka tersebut ditemukan dari royalti yang berpotensi didapatkan oleh eksportir, PT SILO, apabila ore nikel yang terkirim ke China itu diakui sebagaimana regulasi di Indonesia. 

"Kenyataannya, dari 63 bill of lading ini ada yang kadar nikelnya 0,5 persen, 0,7 persen, dan 1,2 persen, tetapi rata-ratanya 0,9 persen. Lalu, ruginya Indonesia apa? Kalau 0,9 persen kita hitung dari 63 pengiriman, ini kita cuma berpotensi kehilangan Rp41 miliar. Jadi tidak ada triliunan, Rp14 triliun yang disebut enggak ada tuh," terang Pahala. 

Namun demikian, dia menegaskan bahwa adanya nikel dalam 63 bill of lading ekspor besi ke China itu tak bisa dikenakan royalti. Untuk itu, KPK langsung merekomendasikan perbaikan regulasi agar mineral utama yang diekspor dan "yang menempel dengannya" bisa sama-sama dikenakan royalti, walaupun dalam kadar yang rendah. 

Berkaca pada kasus ini, Pahala menerangkan bahwa adanya nikel dalam 63 bill of lading ekspor besi ke China itu tak bisa dikenakan royalti. Konsekuensinya, PT SILO pun tidak mendapatkan royalti dari ore nikel tersebut. 

"Kita cepat-cepat tulis rekomendasi perbaikan. Yang ideal, apabila kirim besi ada [kadar] nikelnya, kenakan [royalti] saja dua-duanya. Iya dong. Baru untung," tutup Pahala.

Adapun temuan ekspor 5,3 juta ore nikel ke China itu diduga terjadi selama Januari 2020 hingga Juni 2022. Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya memberlakukan pelarangan ekspor nikel sejak 1 Januari 2020 melalui Peraturan Menteri ESDM No.11/2019. Pelarangan eskpor demi penghiliran dalam negeri itu bahkan menuai gugatan dari Uni Eropa. 

Namun demikian, KPK melalui Satgas Korsup Wilayah V justru mengendus dugaan tersebut melalui data Bea Cukai China yang dikaji oleh lembaga antirasuah tersebut. Dari data kajian yang diperoleh Bisnis, ekspor ilegal ke China itu mencapai 5,3 juta ton ore nikel.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Editor : Edi Suwiknyo

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper