Bisnis.com, JAKARTA - Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menilai pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang didorongnya ke DPR, tidak berbeda jauh dengan yang pernah dilakukan di Amerika Serikat (AS) terhadap Presiden Richard Nixon.
Mengenai permohonan pemakzulan Presiden Jokowi, Denny berkaca pada skandal penyandapan Partai Demokrat di AS atau skandal Watergate, yang turut menyeret nama Presiden Nixon di 1972-1974.
Seperti diketahui, salah satu alasan pemakzulan Jokowi yang disebut oleh Denny pada surat terbuka sebelumnya ke DPR tak beda jauh dari yang terjadi kepada Nixon. Terutama, terkait dengan kasus skandal upaya mengambil alih Partai Demokrat dari pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko.
"Berikut saya jelaskan satu saja contoh kasus skandal Moeldoko [Moeldokogate] dan membandingkannya dengan skandal Watergate dalam sejarah Amerika Serikat, yang berujung dengan mundurnya Presiden Richard Nixon, karena menghindari pemecatan [impeachment]," tulis Denny dalam surat terbuka, Senin (12/6/2023).
Awalnya, ahli hukum tata negara itu menjelaskan bahwa pemakzulan di Indonesia dan AS sama-sama diatur dalam konstitusi. Terdapat empat delik pemakzulan dalam konstitusi AS yang diadopsi di Indonesia yakni treason (pengkhianatan terhadap negara), bribery (penyuapan), other high crime (kejahatan tingkat tinggi), dan misdemeanors (perbuatan tercela).
Sementara itu, terdapat dua tambahan lain delik di Indonesia yakni korupsi dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden.
Baca Juga
Menurut Denny, konsep delik pemakzulan yang hampir sama di kedua negara seharusnya bisa diterapkan pada kasus Watergate AS dan juga kepada Presiden Jokowi terkait dengan kasus Moeldoko.
"Baik Moeldokogate maupun Watergate, mempunyai karakteristik yang relatif sama. Bahkan, Moeldokogate punya dampak yang jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan Watergate," terangnya.
Secara terperinci, Denny menjelaskan ada tiga poin perbandingan antara kedua kasus. Pertama, upaya penyadapan Partai Demokrat di AS dilakukan saat kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres), guna menganggu pencalonan presiden dari Demokrat. Nixon tebrukti terlibat.
Sementara itu, di Indonesia, kasus Moeldokogate diduga terkait dengan upaya pengambilalihan Partai Demokrat oleh salah satu pejabat di kabinet pemerintahan Presiden Jokowi.
"Presiden Jokowi jelas terlibat, paling tidak membiarkan [by ommission] Moeldoko menggangu daulat partai," kata Denny.
Kedua, tuduhan kepada Nixon dalam skandal Watergate yakni perintangan penyidikan, menyalahgunakan kekuasaan, dan melecehkan Kongres AS. Sementara itu, Denny melihat hal serupa bisa dilihat di Indonesia bahwa ada dugaan upaya yang sama untuk menutupi perkara kawan koalisi dan mengangkat perkara lawan oposisi.
"Salah satu indikasinya dengan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK melalui putusan MK," jelasnya.
Terakhir, Denny menilai poin ketiga merupakan yang membedakan antara kedua kasus. Di AS, penyelidikan di parlemen dimulai setelaha danya laporan Washington Post, sedangkan di Indonesia belum ada proses serupa.
Mantan Wamenkumham era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu menilai harusnya tidak sulit bagi DPR untuk memulai proses pemakzulan kepada Jokowi, jika mau menggunakan haknya. Masalahnya, lanjutnya, koalisi partai-partai di DPR bukan berbentuk kooperasi melainkan kolusi.
Akibatnya, Denny menilai pemakzulan yang didorongnya itu secara politik tidak mudah dijalankan kendati secara teori dinilai sebaliknya.
"Bukan karena Jokowi tidak melanggar delik pemakzulan, tetapi karena kekuatan koalisi di DPR tidak melaksanakan fungsi kontrolnya terhadap pelanggaran impeachment yang nyata-nyata dilakukan Presiden Jokowi," tutup Denny.
Sebelumnya, surat terbuka Denny itu telah ditanggapi oleh baik pemerintah dan DPR. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD merespons santai surat terbuka dari mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu.
"Ya terserah Denny saja," katanya saat ditemui di Gedung DPR, Jumat (9/6/2023).
Sementara itu, Anggota DPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menyatakan DPR tak akan menanggapi permintaan Denny soal pemakzulan Presiden.
Arsul, yang juga merupakan Wakil Ketua MPR, menyebut Denny Indrayana hanya sekadar ingin membangun imaji dirinya untuk kepentingan pada Pemilu 2024. Oleh sebab itu, DPR tak akan menanggapi secara serius surat terbuka Denny.
"DPR tidak akan menanggapi apalagi melayani permintaan Denny Indrayana. Yang dilakukannya dengan surat atau postingan-postingan terbuka itu tidak lebih dari kegenitan politik dari seseorang yang sedang membangun citra politiknya untuk Pemilu 2024," ujar Arsul saat dihubungi, Rabu (7/6/2023).