Bisnis.com, JAKARTA – DPR dan Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) telah menyetujui draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) final.
Persetujuan tersebut didapatkan setelah Kemenkumham dan Komisi III DPR melakukan rapat kerja selama kurang lebih tujuh jam pada Kamis (24/11/2022).
Dalam rapat kerja tersebut, mereka membahas 23 daftar inventaris masalah (DIM) dalam draf RKUHP per-tanggal 9 November 2022. Sembilan fraksi di Komisi III pun memberikan pandangan dan masukan kepada masing-masing DIM tersebut.
Setelah lewat banyak masukan dan perubahan, seluruh fraksi di Komisi III telah menyetujui agar RKUHP dibawa ke pembahasan tingkat dua atau disetujui dalam rapat paripurna DPR selanjutnya.
Lalu, apa saja perubahan terakhir dalam draf RKUHP 9 November? Berikut 24 poinnya:
Pertama, Terkait frasa “diakui masyarakat beradab” dalam pasal 2 yang mengatur tentang hukum yang hidup dalam masyarakat. Pemerintah mengganti frasa tersebut dengan “diakui masyarakat bangsa-bangsa”, sebab para ahli hukum yang tergabung dalam International Law Commission/ILC PBB maupun negara anggota PBB telah menyorot istilah “civilized nations” yang dianggap sudah tidak tepat dan perlu diganti dengan “community of nations”.
Baca Juga
Kedua, Terkait penjelasan pasal 2, pemerintah sempat memperjelas kembali istilah “hukum yang hidup dalam masyarakat”. Meski begitu, berapa fraksi di Komisi III merasa istilah tersebut masih kurang jelas. Akhirnya, pemerintah kembali menambahkan ayat penjelasan dengan mengatur agar Peraturan Pemerintah yang akan jadi pedoman bagi daerah dalam penyusunan Peraturan Daerah mengenai kriteria dan tata cara penentan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Ketiga, dalam pasal 9 sebelumnya asas wilayah dan teritorial KUHP dikecualikan menurut “hukum internasional yang telah disahkan”. Namun, pemerintah mengganti frasa tersebut menjadi “perjanjian internasional yang berlaku” karena frasa ‘hukum internasional’ dinilai terlalu luas, karena mencakup pula hukum kebiasaan internasional tidak tertulis.
Keempat, terkait tindak pidana oleh korporasi dalam pasal 48. Pemerintah menambahkan dua poin penjelasan, yaitu korporasi dapat dikenai tindak pidana jika tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar, dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana; dan/atau korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.
Kelima, terkait pemenuhan kewajiban adat setempat dalam pasal 96. Pemerintah melakukan penyempurnaan mekanisme penjatuhan kewajiban adat dan pidana pengganti dalam hal pidana adat tidak dapat dipenuhi.
Keenam, terkait ketentuan hakim yang “dapat” menjatuhkan pidana mati dalam pasal 100. Banyak fraksi di Komisi III yang memperdebatkannya. Oleh sebab itu, pemerintah kemudian menghapus kata “dapat” dalam pasal tersebut. Meski begitu, pemerintah memberi catatan bahwa masih perlu penyesuaian penjelasan umum.
Ketujuh, terkait kewenangan penuntutan yang dinyatakan gugur dalam pasal 132. Pemerintah menambahkan poin “diberikannya amnesti dan abolisi”, sehingga konsisten dengan pasal 140.
Kedelapan, soal penjelasan tindak pidana makar dalam pasal 160. Sebelumnya, makar didefinisikan sebagai “niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya persiapan perbuatan tersebut.” Namun, pemerintah mengganti frasa “suatu perbuatan” dengan kata “serangan” sehingga seseorang hanya bisa dikenai tindak pidana makar apabila orang yang bersangkutan telah melakukan tindakan serangan dan telah nyata timbul korban.
Kesembilan, terkait paragraf satu bagian tindak pidana terhadap ideologi negara. Sebelumnya hanya diatur penyebaran atau pengembangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme. Meski begitu, pemerintah akhirnya menambahkan frasa “paham lain yang bertentangan dengan Pancasila” setelah masukan dari fraksi di Komisi III.
Kesepuluh, terkait penghinaan kepada pemerintah, yang akhirnya diperluas menjadi “pemerintah atau lembaga negara” setelah masukan dari Komisi III. Akhirnya judul bagian menjadi “Penghinaan terhadap Simbol Negara, Pemerintah atau Lembaga Negara, dan Golongan Penduduk”, begitu juga judul paragraf menjadi penghinaan terhadap “Pemerintah atau Lembaga Negara.” Dalam pasal 240 ayat (1), juga ditambahkan frasa “atau lembaga negara” setelah kata pemerintah.
Kesebelas, soal tindak pidana terhadap proses pengadilan dalam pasal 278. Pemerintah melakukan reformulasi untuk mengadopsi usulan mengenai rekayasa kasus.
Ke-12, terkait tindak pidana “menghalang-halangi proses pengadilan” dalam judul bagian sebelum pasal 279. Pemerintah mengganti frasanya menjadi “mengganggu dan merintangi proses peradilan.”
Ke-13, terkait penjelasan pasal 280 yang masih tentang mengganggu dan merintangi proses peradilan. Pemerintah memperluas cakupan objeknya yang sebelumnya hanya “merendahkan martabat hakim dan pengadilan” menjadi “merendahkan martabat aparat penegak hukum, dan petugas pengadilan, atau persidangan” setelah mendapat masukan dari Komisi III.
Ke-14, masih terkait mengganggu dan merintangi proses peradilan. Kali ini pemerintah merampingkan pasal 281 yang sebelumnya ada dua ayat menjadi hanya satu paragraf.
Ke-15, pada pasal 282 pemerintah menambahkan pengecualian tindak pidana untuk orang menyembunyikan atau memberi pertolongan kepada orang yang dijatuhi pidana, asal dia merupakan satu keluarga dekat.
Ke-16, pasal tentang penghinaan kepada lembaga negara dan kekuasaan umum digabung dengan pasal penghinaan kepada pemerintahan.
Ke-17, terkait tindak pidana tentang pemanfaatan dan penggunaan hewan yang tak sesuai kodratnya dalam penjelasan pasal 338. Pemerintah menambahkan keterangan “Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk memidana perbuatan yang dilakukan untuk kegiatan budaya/adat istiadat, keagamaan, atau kepercayaan.”
Ke-18, terkait kohabitasi di penjelasan pasal 412, pemerintah menambahkan keterangan “dengan berlakunya ketentuan ini, seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kohabitasi tidak berlaku.”
Ke-19, terkait penambahan pidana terkait pencemaran nama baik dan fitnah dalam pasal 441. Pemerintah menambahkan satu ayat jika pencemaran nama baik dan fitnah lewat sarana teknologi informasi.
Ke-20, soal aborsi di pasal 463, pemerintah menambahkan lama kandungan yang boleh diaborsi jika hamil karena tindak pidana pemerkosaan atau kekerasan seksual. Dari sebelumnya umur kandungannya 12 bulan menjadi 14 bulan, setelah ada masukan dari Komisi III.
Ke-21, pemerintah menambahkan penjelasan pasal 597 tentang tindak pidana pencetakan tulisan atau gambar, menjadi “Yang dimaksud dengan ‘perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang’ mengacu pada ketentuan Pasal 2 ayat (1).”
Ke-22, pemerintah menghapus pasal 609, 612, 613, dan 614 tentang tindak pidana narkotika karena Komisi III berpendapat aturan serupa sudah diatur dalam RUU Narkotika.
Ke-23, pemerintah menambahkan pencabutan pasal 27 ayat (3) UU ITE untuk menghindari duplikasi dengan Pasal 441 UU ini setelah masukan dari Komisi III.
Ke-24, pada pasal 627, pemerintah menambahkan waktu masa berlakunya UU KUHP ini. Dari yang sebelum diatur “Undang-Undang ini mulai berlaku 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.” Menjadi berlaku “3 (tiga) tahun” mengingat pada 2023 dan 2024 masih berlangsung tahapan Pemilu.