Bisnis.com, JAKARTA — Ribuan netizen menandatangani surat protes menolak Permenkominfo No. 10/2021 atau aturan yang bisa menyebabkan pemblokiran berbagai platform digital seperti Google dan Twitter.
Surat protes tersebut diinisiasi oleh SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network). Setelah satu hari dibuka, surat sudah ditandatangani oleh 5.007 netizen, berdasarkan pantauan di situs SAFEnet, perhari ini, Senin (18/7/2022) pukul 10.00 WIB.
“Saya, salah satu netizen di Indonesia, menyatakan sikap tegas untuk menolak penerapan Permenkominfo No. 10 tahun 2021 tentang perubahan atas Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat,” tulis pembukaan surat.
Surat tersebut ditujukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mereka ingin Jokowi memberi teguran kepada Menkominfo Johnny Plate yang dinilai tidak mengindahkan protes publik.
Sebelumnya, Koalisi Advokasi Permenkominfo 5/2020 sudah menyatakan penolakanterhadap aturan tersebut. Menurut mereka, banyak pasal dalam Permenkominfo No. 10/2021 yang berpotensi menyebabkan pelanggaran HAM, terutama hak atas kebebasan berekspresi.
Pertama, pasal 9 ayat (3) dan (4) yang mengharuskan platform digital seperti Google tidak mencantum informasi-informasi yang sifatnya “dilarang”, maupun memfasilitasi pertukaran data-data yang sifatnya “dilarang”.
Baca Juga
Data yang bersifat “dilarang” merupakan data yang digolongkan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
“Kami berpendapat bahwa pendefinisian ‘meresahkan masyarakat’ dan ‘mengganggu ketertiban umum’ sangat luas sehingga dapat menimbulkan interpretasi ganda yang dapat digunakan oleh aparatur keamanan negara untuk mematikan kritik yang disampaikan secara damai yang ditujukan terhadap pihak berwenang,” jelas Koalisi.
Kedua, pasal 14 yang memberikan kewenangan bagi Kementerian atau Lembaga, Aparat Penegak Hukum; dan/atau lembaga peradilan untuk melakukan pemutusan akses terkait informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang. Ayat (3) pasal tersebut juga menyatakan bahwa pemutusan akses dapat dilakukan dengan “mendesak” apabila terkait dengan terorisme, pornografi anak, serta konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
“Bila dibaca bersamaan dengan pasal 9, pemberlakuan pelarangan untuk data yang bersifat ‘meresahkan masyarakat’ dan ‘mengganggu ketertiban umum’ dengan interpretasi yang luas dapat disalahgunakan oleh pihak berwenang untuk membatasi kebebasan berekspresi, berpendapat, dan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan publik secara damai,” jelas Koalisi lagi.
Terakhir, Pasal 36 Permenkominfo No. 5/2020 yang memberikan kewenangan bagi aparat penegakan hukum untuk meminta PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) lingkup privat agar memberikan akses terhadap konten komunikasi dan data pribadi.
“Hal ini sangat rentan untuk disalahgunakan dalam praktik penegakan hukum, terutama bagi kerja-kerja pelindung hak asasi manusia yang berkenaan dengan isu-isu sensitif seperti isu perempuan, LGBTIQ, masyarakat adat, dan Papua,” tulis mereka.
Oleh karena itu, Koalisi meminta pemerintah mencabut aturan tersebut dan menghentikan proses registrasi PSE lingkup privat ke Kominfo. Koalisi Advokasi Permenkominfo 5/2020 sendiri terdiri dari SAFEnet, CIVICUS, dan Qbukatabu.
Dari pantauan di laman pse.kominfo.go.id perhari ini, Senin (18/7/2022), beberapa PSE terkenal seperti Google, Twitter, Netflix, Facebook, dan WhatsApp belum mendaftarkan platform. Sebelumnya, Kemenkominfo sudah memastikan akan memberikan sanksi administratif berupa pemblokiran kepada PSE yang tak mendaftar per-20 Juli 2022, sesuai amanat Permenkominfo No. 5/2020.