Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) meminta Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) untuk menjatuhkan sanksi maksimal berupa pemecatan apabila Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dinyatakan terbukti bersalah melanggar kode etik berat.
Diketahui, Lili dilaporkan ke Dewas KPK lantaran diduga melakukan pelanggaran etik. Lili diduga melakukan komunikasi secara dengan M Syahrial, Walikota Tanjungbalai terkait dengan perkara yang dihadapinya di KPK.
"Sanksi terberat Dewas KPK adalah permintaan pengunduran diri kepada teradu yang bisa dipahamai sebagai pemecatan," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada Bisnis dikutip Senin (30/8/2021).
Boyamin mengatakan jika Lili Piantuli Siregar dinyatakan bersalah oleh Dewas KPK, maka MAKI berencana mengambil opsi untuk melapor kepada Bareskrim Polri atas dugaan tindak pidana sebagaimana diatur pasal 36 UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 berbunyi: Pimpinan KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun.
Boyamin berharap putusan Dewas KPK memenuhi rasa keadilan kepada semua rakyat Indonesia yang mendambakan KPK tetap kuat dan tidak melemah.
"Sebagaimana opini selama ini KPK telah melemah akibat revisi UU KPK dan adanya kontroversi pimpinan KPK terkait TWK," kata Boyamin
Seperti diketahui, Lili dilaporkan oleh Novel Baswedan atas dugaan pelanggaran etik karena diduga melakukan komunikasi dengan Wali Kota Tanjung Balai, M Syahrial yang kini tengah berperkara di KPK.
Sebelumya, Sidang lanjutan kasus suap penanganan Perkara dengan terdakwa Wali Kota Tanjungbalai nonaktif M. Syahrial memunculkan nama Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar.
Nama Lili mencuat saat mantan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju bersaksi di persidangan. Terungkap bahwa ada komunikasi antara Syahrial dan Lili lewat sambungan telepon.
Awalnya, jaksa menanyakan soal permintaan bantuan hukum oleh Syahrial kepada orang bernama Fahri Aceh. Bantuan hukum tersebut terkait penyelidikan kasus jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai.
Syahrial meminta bantuan kepada Fahri Aceh, atas saran dari Lili Pintauli. Ditegaskan oleh Stepanus Lili yang dimaksud adalag Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.
"Seperti itu penyampaian beliau (meminta bantuan ke Fahri Aceh). Atas saran Bu Lili Pintauli Siregar, setahu saya Wakil Ketua KPK," kata Stepanus dalam persidangan, Senin (26/7/2021).
Stepanus juga menyebutkan bahwa ada pembicaraan lain antara Syahrial dengan Lili lewat sambungan telepon.
Salah satunya, terkait dengan berkas perkara Syahrial. Menurut keterangan Stepanus, berkas Syahrial ada di meja Lili saat keduanya bertelepon.
"Terdakwa menyampaikan bahwa baru saja ditelpon oleh Bu Lili yang menyampaikan bahwa 'Yal, gimana? Berkas kamu di meja saya nih' itu Bu Lili kepada terdakwa saat itu pak," kata Stepanus.
Stepanus pun mengungkapkan bahwa Syahrial sempat meminta bantuan kepada Lili terkait perkaranya.
Lili, lanjut Stepanus, pun menjawabnya dengan menyuruh Syahrial untuk bertemu dengan seorang bernama Fahri Aceh. Lili, dalam percakapan dengan Syahrial, menyebut Fahri Aceh sebagai 'Orang Saya'.
Sebelumya, Lili sempat membantah menjalin komunikasi dengan Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial.
"Saya tidak pernah menjalin komunikasi dengan tersangka MS terkait penanganan perkara yang bersangkutan, apalagi membantu dalam penanganan perkara yang sedang ditangani oleh KPK," kata Lili dalam konferensi pers, Jumat (30/4/2021).
Adapun, Wali Kota Tanjungbalai non-aktif Muhammad Syahrial didakwa menyuap penyidik KPK Stepanus Robinson Pattuju sebesar Rp1,69 miliar.
Suap itu menurut jaksa KPK diberikan supaya eks penyidik KPK Stepanus Pattuju tidak menaikkan kasus dugaan korupsi ke tingkat penyidikan.
Adapun surat dakwaan tersebut telah dibacakan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan yang berlokasi di Pengadilan Negeri Medan.
Syahrial didakwa dengan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.