Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Luar Negeri China menanggapi tudingan serius yang dilontarkan Presiden AS Donald Trump bahwa negara itu bertanggungjawab atas merebaknya pandemi virus corona.
Trump bahkan membuka wacana untuk memulai investigasi soal asal-usul wabah. Parlemen AS juga memperkenalkan undang-undang yang memungkinkan warga menuntut China atas pandemi itu.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang mengatakan AS harus memahami bahwa musuh bersama saat ini adalah virus itu sendiri, dan bukan China. Menurutnya, menyerang dan mendiskreditkan negara lain tidak akan menghemat waktu dan nyawa.
"Kami berharap bahwa mereka yang berada di pihak AS akan menghormati fakta, sains, dan konsensus internasional, berhenti menyerang dan menyalahkan China tanpa alasan," katanya dalam sebuah pernyataan dilansir Rabu (22/4/2020).
Geng menyerukan AS berhenti membuat pernyataan yang tidak bertanggung jawab dan fokus pada memerangi epidemi di rumah dan mempromosikan kerja sama internasional.
Geng melanjutkan berdasarkan pengalaman wabah sebelumnya, tidak ada yang bergerak untuk menuntut negara yang pertama kali melaporkan kasus. Di AS misalnya, pertama kali ditemukan kasus flu H1N1 pada 2009 yang menyebar ke 214 negara di dunia. Selain itu, penyakit AIDS juga dilaporkan pertama kali di AS sebelum melanda seluruh dinia.
Baca Juga
"Apakah ada yang maju dan meminta AS untuk bertanggung jawab?" ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, Kishore Mahbubani, seorang profesor di Universitas Nasional Singapura, mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa gejolak keuangan di AS yang dipicu oleh runtuhnya Lehman Brothers pada 2008 berubah menjadi krisis keuangan global.
"Adakah yang meminta AS untuk mengambil konsekuensinya?" lanjutnya.
Dia menekankan, virus ini adalah musuh bersama bagi seluruh umat manusia dan dapat menyerang kapan saja. Dalam menghadapi krisis kesehatan publik yang besar dan penyakit menular, komunitas internasional harus berdiri dalam solidaritas dan bekerja bersama, tidak saling menuduh atau menuntut pertanggungjawaban.