Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan praktisi hukum mendorong penguatan kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK sebagai organ yang diatur dalam UUD 1945.
KPK eksis di Tanah Air sejak 2003 berkat payung hukum UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Namun, pengaturan dalam level UU itu menjadikan KPK rentan dilemahkan.
Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas mengingatkan kembali bahwa lembaga antirasuah tersebut lahir berkat semangat moral Reformasi 1998. Dalam UUD 1945 hasil amandemen, institusi baru bidang yudisial dilahirkan setelah runtuhnya Orde Baru yakni Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY).
“Tiga-tiganya lahir dari gerakan moral Reformasi sebagai kritik rezim otoriter yang anti-HAM, tapi KPK baru diatur dalam level UU. Sudah saatnya KPK ditaruh dalam level konstitusi,” katanya dalam sidang perkara pengujian UU KPK hasil revisi di Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Dengan menjadi organ konstitusi, Busyro berpendapat kelembagaan dan kewenangan KPK tidak mudah dilemahkan. Indikasinya, berkali-kali UU 30/2002 hendak diubah baik melalui proses legislasi maupun uji materi.
Kerentanan itu akhirnya terbukti dengan lahirnya UU No. 19/2019 sebagai revisi kedua atas UU 30/2002. Menurut Busyro, fakta empiris tersebut sudah seharusnya menyadarkan para pengambil kebijakan untuk mengatur KPK dalam UUD 1945.
Baca Juga
“Beberapa kali UU KPK coba direvisi. Ada yang gagal tapi kali ini [lewat UU 19/2019] mencapai ‘cerita sukses’ yang luar biasa,” sindir mantan Ketua KY ini.
Senada dengan Busyro, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana berpandangan bahwa pengaturan dalam UUD 1945 bakal menguatkan kelembagaan KPK. Sebagai pembanding, institusi pemberantas korupsi di negara-negara Asean diatur dalam konstitusinya masing-masing.
“Hanya di Indonesia dasarnya UU sehingga rentan diutak-atik,” kata Denny dalam kesempatan yang sama.
Kendati UUD 1945 belum mengatur KPK, Denny meyakini bahwa konstitusi Indonesia mengandung nilai-nilai moralitas antikorupsi. Namun, ketiadaan norma khusus KPK dalam konstitusi memungkinkan pelemahan lembaga antirasuah tersebut.
“Sekarang perizinan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan harus melalui Dewan Pengawas. Pegawai diturunkan menjadi PNS. Independensinya jelas berbeda,” tutur Denny.
Busyro dan Denny merupakan ahli yang dihadirkan oleh pemohon dua perkara pengujian UU KPK hasil revisi. Selain dua aktivis antikorupsi itu, Kepala Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Ridwan turut menjadi ahli.
Tiga ahli tersebut memberikan keterangan dalam sidang gabungan pemeriksaan tujuh perkara pengujian UU 19/2019. Pada Rabu (19/2/2020) pekan depan, tiga ahli dari dua perkara lainnya dihadirkan oleh MK untuk memberikan keterangan.