Kabar24.com, JAKARTA — Trio pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai pembentukan UU KPK hasil revisi bertentangan dengan UUD 1945 sekaligus melanggar tiga produk perundang-undangan.
Tiga regulasi di bawah konstitusi itu adalah UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPR, dan DPRD, serta Peraturan DPR No. 1/2014 tentang Tata Tertib.
Klaim kecacatan prosedur tersebut dituangkan oleh tiga pimpinan KPK dalam materi gugatan formil UU No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain tiga bos KPK—Agus Rahardjo, Laode Muhamad Syarif, dan Saut Situmorang—sebanyak 10 tokoh masyarakat turut menjadi pemohon.
“Pembentukan perubahan kedua UU KPK telah melanggar hak konstitusional para pemohon untuk mendapatkan jaminan dan kepastian hukum yang adil tentang proses pembentukan UU," kata Feri Amsari, kuasa hukum Agus Rahardjo dkk dari Tim Advokasi UU KPK, dalam sidang gugatan di Jakarta, Senin (9/12/2019).
Menurut Agus Rahardjo dkk, UU 19/2019 mengabaikan tiga produk hukum yang mengatur proses formil pembentukan UU. Pelanggaran tersebut ditunjukkan dalam enam indikasi.
Pertama, perubahan kedua UU KPK tidak melalui proses perencanaan dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. Pemohon mencontohkan tidak masuknya RUU revisi kedua UU KPK dalam prolegnas 5 tahunan maupun prolegnas tahunan.
Kedua, UU KPK hasil revisi melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Pemohon menyebutkan semestinya tujuh asas yang harus dipenuhi meliputi (1) kejelasan tujuan, (2) kelembagaan atau pembentuk yang tepat, (3) kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, (4) dapat dilaksanakan, (5) kedayagunaan dan kehasilgunaan, (6), kejelasan rumusan, dan (7) keterbukaan.
Ketiga, pembahasan perubahan kedua UU KPK tidak dilakukan secara partisipatif. Wujud konkret dari dalil ini adalah tidak dilibatkannya pimpinan KPK dalam pembahasan, apalagi mendengar masukan publik.
Keempat, pengambilan keputusan di rapat paripurna DPR tidak kuorum. Merujuk Tatip DPR, kuorum terjadi bilamana rapat dihadiri oleh separuh total anggota DPR yang terdiri dari setengah total fraksi.
"Setidaknya 180-an anggota DPR yang titip absen sehingga seolah-olah terpenuhi kuorum 287-289 anggota DPR dianggap hadir dalam persidangan," kata Feri Amsari.
Kelima, naskah akademis dan RUU revisi UU KPK tidak dapat diakses publik. Kendati regulasi mewajibkan penyebarluasan dokumen penyusunan RUU, naskah akademik RUU revisi UU KPK tidak dapat diakses di situs resmi DPR dan pemerintah.
Keenam, penyusunan revisi UU KPK tidak didasarkan pada naskah akademik yang memadai. Berdasarkan naskah akademik yang akhirnya didapat, pemohon menilai DPR dan pemerintah tidak menguraikan landasan teori, evaluasi praktis, yuridis mengenai perubahan-perubahan materi dalam UU KPK lawas.
Setelah menjabarkan dalil-dalil kecacatan UU 19/2019, Feri Amsari meminta dalam provisi agar MK untuk menunda pemberlakukan beleid tersebut. Adapun, dalam pokok permohonan, penggugat meminta UU 19/2019 dibatalkan.