Bisnis.com, JAKARTA - Satuan tugas Gedung Putih merekomendasikan agar Presiden Donald Trump mengarahkan pemerintah federal untuk membeli lebih banyak uranium dari produsen dalam negeri.
Pembelian uranium oleh Departemen Pertahanan AS menjadi salah satu rekomendasi yang dibuat oleh Kelompok Kerja Bahan Bakar Nuklir AS, yang terdiri dari tingkat kabinet dan pejabat tinggi lainnya, menurut sumber yang ditak disebutkan namanya.
Gugus tugas ini dibentuk bertujuan untuk mempelajari cara menghidupkan kembali industri pertambangan uranium AS.
Dilansir Bloomberg, salah satu sumber mengatakan Departemen Energi, yang membawahi Badan Keamanan Nuklir Nasional memelihara cadangan nuklir negara itu, akan terlibat dalam upaya tersebut, yang dapat mencakup penciptaan cadangan uranium nasional baru.
Setiap intervensi pemerintah dapat menjadi rejeki tersendiri bagi segelintir penambang uranium dalam negeri, termasuk Energy Fuels Inc. dan Ur-Energy Inc., dua perusahaan yang sebelumnya mengajukan petisi kepada Gedung Putih untuk memberikan kuota pasar domestik sebesar 25 persen pada impor uranium dari luar negeri.
Gedung Putih menolak permintaan itu pada bulan Juli dan sebaliknya Trump membentuk kelompok kerja yang terdiri dari enam sekretaris kabinet dan beberapa pejabat tinggi Gedung Putih untuk menganalisis opsi lain.
Baca Juga
Di antara opsi-opsi yang dipertimbangkan oleh staf kelompok kerja adalah permintaan oleh industri nuklir untuk menggunakan Undang-Undang Produksi Pertahanan tahun 1950, yang mengharuskan pemerintah untuk membeli uranium dari penambang domestik untuk mengisi kembali persediaannya dan untuk keperluan lain.
Produsen uranium dalam negeri telah meminta pemerintah untuk memastikan produksi uranium sebanyak 10 juta pound per tahun melalui langkah-langkah seperti penciptaan "Cadangan Keamanan Uranium Federal” yang baru
Sekitar 90 persen uranium negara itu, yang digunakan untuk menggerakkan reaktor nuklir dan kapal selam serta membuat senjata nuklir, diimpor dari negara-negara seperti Kanada, Kazakhstan, Australia, dan Rusia, menurut data Departemen Energi.