Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman menilai pemohon pengujian konstitusionalitas UU KPK hasil revisi terlampau cepat mengajukan permohonan mengingat beleid tersebut belum diundangkan.
“Ini tak sabar menunggu hari esok bagaimana kelanjutan RUU ini yang sudah disahkan DPR tapi belum ditandatangani oleh Presiden dan belum diundangkan dalam Lembaran Negara RI,” katanya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara No. 59/PUU-XVII/2019 di Jakarta, Senin (14/10/2019).
Simak suasana persidangannya dari live streaming akun Youtube Mahkamah Konstitusi RI di atas.
Perkara No. 59/PUU-XVII/2019 adalah permohonan kedua terhadap UU tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang diperiksa oleh MK. Para pemohon perkara tersebut adalah 25 mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam As-Syafi'iyah.
Mereka menguji konstitusionalitas UU KPK hasil revisi baik secara formil maupun materiil. Untuk pengujian formil, pemohon meminta MK membatalkan seluruh beleid tersebut. Pada pengujian materiilnya, mereka meminta MK mencabut ketentuan yang mengatur keberadaan Dewan Pengawas KPK.
Anwar Usman menilai permintaan para pemohon tersebut kontradiktif. Di satu sisi, penggugat meminta UU KPK hasil revisi dibatalkan. Di sisi lain, mereka meminta hanya norma Dewan Pengawas KPK saja yang dinyatakan tak berlaku.
“Artinya pasal lain sah kalau uji formil ditolak. Kemudian uji materiilnya [hanya Dewan Pengawas dibatalkan] seandainya RUU ini memperoleh nomor yang artinya sudah ditandatangani Presiden,” ujar Anwar.
Pada 30 September, MK juga telah menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara No. 57/PUU-XVII/2019. Permohonan tersebut diajukan oleh 18 mahasiswa, politisi, dan wiraswasta.
Pada 9 Oktober, MK menerima gugatan UU KPK ketiga yang diajukan oleh seorang advokat bernama Gregorius Yonathan Deowikaputra. Namun, permohonan tersebut belum diregistrasi.
UU KPK hasil revisi disahkan oleh DPR pada 17 September. Namun, sampai saat ini beleid tersebut belum ditandatangai oleh Presiden Joko Widodo sehingga belum masuk dalam Lembaran Negara RI.