Bisnis.com, BANDUNG - Seruan Kubu Prabowo-Sandiaga agar pendukung nomor urut 02 ini memboikot pemerintahan dan tidak membayar pajak dinilai tidak memikirkan dampak luas jika itu terjadi.
Ketua TKD Jokowi-Ma’ruf Amin Jabar, Dedi Mulyadi, menilai seruan tersebut sulit dilaksanakan karena akan berdampak luas pada segala bidang.
"Kalau pemerintah yang sah tidak diakui dan kemudian warga diajak tidak usah membayar pajak, lalu anggota DPR dan DPRD dari partai oposisi tidak berhak mendapat gaji," kata Dedi Kamis (16/5/2019).
Dedi menuturkan gaji dan tunjangan untuk anggota DPR dan DPRD berasal dari Kementerian Keuangan yang disalurkan melalui Sekretariat Jenderal DPR RI dan Sekretariat Dewan.
“Kalau pemerintah tidak diakui, otomatis kementeriannya pun tak diakui dan dianggap tidak sah. Maka, gaji yang diterima pun tidak akan sah, ilegal,” ujarnya.
Dampak lain dari seruan untuk tidak mengakui pemerintah yang sah adalah terkait administrasi kependudukan. Kartu tanda penduduk (KTP) ditandatangani pejabat negara. Ketika presiden tidak diakui, maka pengangkatan pejabat negara itu juga tidak sah. Artinya, kegiatan yang legalitasnya menggunakan KTP berarti tidak sah.
Baca Juga
"Salah satunya adalah transaksi perbankan pun tidak sah karena KTP-nya ilegal," ujar mantan Bupati Purwakarta 2 periode ini.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono meminta agar pendukung pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak perlu mengakui pemerintah yang terbentuk pada periode 2019-2024.
Menurut Arief ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh pendukung Prabowo-Sandiaga. Pertama, dengan menolak membayar pajak kepada pemerintah. Sebab, pemerintah yang terbentuk dari penetapan KPU tidak sah.
Sebelumnya, Dedi Mulyadi juga mengkritik kubu Prabowo yang menolak hasil pemilu 2019. Dedi menilai, sikap kubu Prabowo yang menolak hasil pemilu 2019 berarti juga tidak mengakui perolehan suara calon legislatif semua partai, termasuk dari Gerindra.
Dedi mengatakan, pemilu 2019 itu dilaksanakan satu paket kegiatan yang dipertanggungjawabkan oleh lembaga penyelenggara bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari pusat, provinsi hingga tingkat KPPS. Pengawasanya pun dari pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan hingga tingkat kelurahan/desa.
Ketika hasil pemilu itu dianggap curang, kata Dedi, maka pemahaman itu berlaku paralel, yaitu berlaku bagi pemilihan presiden, DPD, DPR RI hingga DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.