Kabar24.com, JAKARTA – Pemerintah Bangladesh tengah berupaya mengubah sebuah pulau tak berpenghuni dan berlumpur di Teluk Bengal, untuk dijadikan rumah bagi sekitar 100.000 muslim Rohingya yang telah melarikan diri dari tindak keras militer di Myanmar.
Langkah ini justru dilakukan di tengah perbedaan pendapat dari para penduduk Bangladesh mengenai apakah para pengungsi Rohingya akan terdampar di sana.
Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina pada hari Senin mengatakan bahwa penempatan pengungsi Rohingya di pulau dataran rendah itu akan menjadi ‘pengaturan sementara’ untuk mengurangi kepadatan di kamp-kamp di Cox's Bazar.
Cox’s Bazar menjadi tempat perlindungan bagi hampir 700.000 pengungsi yang telah menyeberang dari utara negara bagian Rakhine Myanmar sejak akhir Agustus tahun lalu.
Dalam suatu konferensi pers di Dhaka, Hasina mengatakan dilihat dari sudut pandang alaminya pulau itu sangat bagus. Meskipun rencana awalnya adalah menempatkan 100.000 orang di sana, pulau itu sendiri disebut mampu menampung sebanyak 1 juta orang.
Baca Juga
Namun kepada Reuters, salah satu penasihatnya mengatakan pengungsi yang tinggal di pulau tak berpenghuni itu hanya bisa meninggalkan pulau tersebut jika mereka ingin kembali ke Myanmar atau dipilih untuk mendapatkan suaka oleh negara ketiga.
“Ini bukan sebuah kamp konsentrasi, tapi mungkin ada beberapa batasan. Kami tidak memberi mereka [para pengungsi] paspor atau kartu identitas Bangladesh, “ kata H.T. Imam, seperti dikutip Reuters.
Diinformasikan olehnya, pulau tersebut juga akan memiliki perkemahan polisi dengan 40-50 personil bersenjata.
Sejumlah insinyur asal Inggris dan China dikabarkan membantu mempersiapkan pulau tersebut untuk menampung para pengungsi sebelum terjadinya hujan monsun. Hujan yang biasanya dimulai akhir April dapat menyebabkan banjir dahsyat ke kamp-kamp yang bobrok arah selatan yang saat ini dipenuhi oleh sekitar 1 juta warga Rohingya.
Imam, Penasihat PM Hasina, mengatakan pertanyaan terkait seleksi pengungsi Rohingya di Cox's Bazar untuk pindah ke pulau itu belum difinalisasikan. Namun hal ini bisa diputuskan dengan undian atau secara sukarela.
Sementara itu, dalam pernyataannya, Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi menegaskan bahwa rencana relokasi yang melibatkan pengungsi harus didasarkan dan dilaksanakan melalui keputusan sukarela dan atas sepengetahuan.
Di sisi lain, sejumlah badan kemanusiaan mengkritik rencana pemerintah Bangladesh untuk membawa pengungsi Rohingya ke pulau itu, sejak pertama kali diusulkan pada tahun 2015.
Kepada Reuters, beberapa pekerja bantuan mengungkapkan kekhawatiran yang tak kunjung hilang bahwa pulau berlumpur itu rentan terhadap siklon yang sering terjadi dan tidak dapat menopang penghidupan ribuan orang.
Namun hasil kerja proyek itu sendiri telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir, berdasarkan rencana arsitektur dan dua surat dari angkatan laut Bangladesh kepada pejabat pemerintah daerah dan kontraktor yang diperoleh Reuters..
Setahun lalu, ketika wartawan Reuters mengunjungi Bhasan Char, yang berarti ‘pulau terapung’ atau floating island ini, belum tampak jalan, bangunan, maupun masyarakat.
Dalam kunjungan berikutnya pada 14 Februari, mereka mendapati ratusan buruh membawa batu bata dan pasir dari kapal-kapal di pantai barat lautnya yang berlumpur. Citra satelit saat ini telah menunjukkan jalan dan apa yang tampak seperti helipad.
Pulau Terapung, yang muncul dari lumpur sekitar 20 tahun yang lalu, berjarak sekitar 30 km (21 mil) dari daratan. Pada Juni-September setiap tahun, pulau ini kerap dilanda banjir. Perompak-perompak sering berkeliaran di perairan terdekat untuk menculik nelayan demi mendapatkan uang tebusan, menurut penduduk pulau-pulau terdekat.
Rencana pembangunan pulau itu menunjukkan bangunan beratap logam, bangunan bata dengan tiang-tiang dan dilengkapi panel surya. Akan ada sebanyak 1.440 blok, yang masing-masing menampung 16 keluarga.
Perusahaan konstruksi China Sinohydro, yang lebih dikenal untuk karyanya membangun Bendungan Tiga Ngarai China, telah mulai bekerja untuk tanggul pertahanan sepanjang 13 km proyek senilai US$280 juta itu.
Seorang insinyur Sinohydro di Bhasan Char menginformasikan bahwa perusahaan tersebut memiliki ‘perjanjian kerahasiaan’ dan bahwa pertanyaan tentang pembangunan di pulau tersebut harus mengacu kepada pemerintah Bangladesh.
HR Wallingford, konsultan hidrolik rekayasa dan lingkungan asal Inggris, disebut bertugas memberi arahan untuk proyek ini tentang langkah stabilisasi pesisir dan perlindungan banjir.
“Desain infrastruktur pesisir diharapkan mencakup tanggul pertahanan banjir yang melindungi kawasan pengembangan dengan standar internasional, yang berada di garis pantai,” jelas pihak perusahaan.
Omar Waraich, Wakil Direktur Asia Selatan untuk kelompok hak asasi manusia Amnesty International, mengatakan bahwa tidak seorang pun di komunitas kemanusiaan sepengetahuannya yang menganggap rencana ini adalah ide bagus.
“Ini adalah pulau lumpur yang muncul baru-baru ini,” ujar Waraich.
Warga di pulau Sandwip yang berlokasi di dekat pulau itu menuturkan badai monsun kerap memakan korban, menghancurkan rumah, dan memutuskan kontak dengan daratan.
Namun, seorang anggota senior staf perdana menteri, Direktur Jenderal Kabir Bin Anwar, mengatakan bahwa organisasi kemanusiaan yang sangat kritis terhadap rencana tersebut benar-benar salah karena mereka tidak mengerti topografi Bangladesh.
“Pemerintah sedang membangun tempat penampungan terhadap topan di pulau itu. Ada sawah dengan kadar garam, orang-orang yang tinggal di sana juga bisa memancing atau merumput dengan sapi dan kerbau,” kata Anwar.
Anwar juga menampik kekhawatiran tentang penyampaian bantuan dasar ke pulau itu.
“Kami tidak membutuhkan bantuan dari LSM asing ataupun lokal. Kami bisa memberi mereka makanan,” tambahnya.
Sementara itu, warga Bangladesh yang tinggal di pulau-pulau terdekat sangat kritis terhadap upaya pemerintah mereka terhadap Rohingya.
Belal Beg, 80, yang lahir di pulau Sandwip, menginformasikan adanya perlawanan untuk penyelesaian masalah pengungian Rohingya di Bhasikan Char, karena sejumlah besar orang Bangladesh sendiri harus mengungsi akibat erosi pantai setiap tahun tanpa tindakan yang diambil untuk melindungi mereka.
“Pertama-tama kita harus merawat orang kita sendiri, tetapi pemerintah memutuskan memberi perlindungan kepada imigran,” kata Beg.
Banyak warga Rohingya juga menolak gagasan pindah ke sebuah pulau yang lebih jauh lagi dari Myanmar.
Jahid Hussain, seorang pengungsi Rohingya di kamp pengungsi Chakmakul di Bangladesh, mengatakan dia telah meninggalkan Myanmar untuk menyelamatkan hidupnya dan tidak akan mengambil risiko dengan tinggal di Bhasan Char.
“Saya lebih baik mati di sini,” katanya.
Pergolakan terakhir yang terjadi di negara bagian Myanmar, Rakhine, dimulai pada 25 Agustus, ketika sejumlah gerilyawan Rohingya menyerang puluhan pos polisi dan sebuah pangkalan militer. Serangan ini memicu serangan balik dari pihak tentara yang memaksa seluruh warga desa untuk melarikan diri.
Mereka bergabung dengan 300.000 warga Rohingya yang sudah berada di Bangladesh, salah satu negara termiskin dan terpadat di dunia, yang telah melarikan diri dari tindak kekerasan sebelumnya.
Aung San Suu Kyi, peraih Nobel perdamaian dan pemimpin Myanmar yang mayoritas beragama Buddha, telah banyak dikritik oleh negara-negara Barat karena tidak bertindak atas kondisi yang oleh Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebut ‘pembersihan etnis’.
Pemerintah Myanmar menyangkal pembersihan etnis telah terjadi, bahkan mengatakan telah melakukan operasi yang sah terhadap teroris di utara Rakhine.