Bisnis.com, JAKARTA- Forum Sinologi Indonesia mengingatkan Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (Asean) untuk memperkuat persatuan dan bersikap lebih tegas menghadapi Republik Rakyat China (RRC) yang bertingkah semakin agresif di Laut China Selatan atau LCS.
Provokasi China itu terus berlangsung khususnya di wilayah yang menjadi Zona Ekonomi Ekslufif (ZEE) Filipina, antara lain di Dangkalan Thomas II (oleh Filipina disebut sebagai Ayungin Shoal) akhir-akhir ini.
Menurut Ketua FSI Johanes Herlijanto dalam seminar publik FSI yang berjudul “China, Filipina, dan Ketegangan Kawasan Asia Tenggara”, provokasi negara besar seperti China harus dihadapi dengan persatuan.
Dalam seminar itu, hadir pula selaku pembicara Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo, Duta Besar Republik Indonesia untuk Filipina, dan Ristian Atriandi Suprianto, pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI), sebagai pembicara pendamping.
Dalam pemaparannya Jenderal Agus Widjojo antara lain menyampaikan gambaran umum hubungan RRC-Filipina dan menjelaskan munculnya konflik antara kedua negara, yang dilatarbelakangi sengketa wilayah di LCS. “Tahun 1949 China mengumumkan sebuah istilah baru, yaitu “nine dash line” yang berisi klaim sepihak atas wilayah teritori perairan sekitar LCS/WPS bahkan selanjutnya China menetapkan “ten- dash line”,” tutur Agus Widjojo, dikutip dari siaran pers, Senin (18/12/2023).
Sebaliknya, jelas Agus, Filipina berpegang teguh pada hukum laut Internasional (UNCLOS) tahun 1982 dan putusan Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag tahun 2016 yang memenangkan Filipina atas klaim LCS /WPS dari China.
Baca Juga
Menurut mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) ini, sengketa memasuki babak baru pada tahun 2023 yang diwarnai beberapa insisden. Pada 13 Februari 2023, Kapal Penjaga Pantai China (CCG atau China Coast Guard) menembakkan sinar laser berkekuatan tinggi ke arah Kapal BRP Malapascua milik Penjaga Pantai Filipina (Philippine Coast Guard atau PCG) yang sedang melakukan patroli maritim.
“Berikutnya pada 5 Agustus 2023 terjadi penembakan meriam air (water cannon) oleh kapal CCG terhadap kapal PCG di Ayungin Shoal, WPS, saat sedang mengawal kapal pemasok logistik Kapal Angkatan Laut Filipina, Siera madre,” papar beliau.
Sebagai catatan, Sierra Madre adalah kapal pengangkut kendaraan perang era Perang Dunia Kedua yang didamparkan di Ayungin Shoal dan dijaga oleh sebuah regu militer Filipina untuk menandai hak berdaulat Filipina atas wilayah tersebut.
Seperti dituturkan Agus Widjojo, gesekan antara RRC dan Filipina masih berlangsung di wilayah tersebut. Yang terbaru terjadi pada 10 Desember 2023, di mana berlangsung insiden pemblokiran disertai penembakan water cannon yang dilakukan oleh Kapal CCG dan Milisi Maritim China (Chinese Maritime Militia atau CMM) terhadap 2 kapal Filipina.
Meski terjadi eskalasi ketegangan di wilayah tersebut, Agus Widjojo menilai bahwa kedua belah pihak akan terus menahan diri dan berupaya tetap menggunakan jalur diplomasi untuk penyelesaian konflik. Menurutnya, kebijakan Presiden Marcos, Jr yang menekankan agar Filipina menjadi “a friend to all and an enemy to none” (teman bagi semua) memegang peran penting.
Beliau juga berpandangan bahwa Filipina melihat pentingnya persatuan dan konsolidasi ASEAN dalam penyelesaian sengketa wilayah teritorial LCS/WPS yang juga melibatkan Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Menurutnya, penyelesaian Code of Conduct (tata perilaku) di LCS merupakan prioritas utama bagi Filipina. Meski demikian, dalam sesi tanya jawab, Agus Widjojo juga mengatakan bahwa bukan tidak mungkin terjadi peningkatan eskalasi hingga terjadinya perang.
Sementara itu, dalam keterangan yang disampaikan di akhir seminar, Ketua FSI Johanes Herlijanto berpandangan bahwa dalam memahami situasi yang berlangsung di LCS, sangat penting bagi Indonesia dan negara-negara Asean lainnya untuk memperhatikan bahwa tindakan agresif yang dilakukan RRC terhadap Filipina, bahkan juga terhadap negara-negara ASEAN lain seperti Vietnam, Malaysia, dan Indonesia, dapat ditelusuri hingga setidaknya satu dasawarsa yang lalu.
“Perlu dicatat bahwa Filipina telah mengambil berbagai langkah yang berbeda beda, salah satunya adalah mengajukan gugatan terhadap RRC kepada Mahkamah Arbritase Internasional di Den Haag, dengan hasil yang memperkuat posisi hukum Filipina dalam hal kepemilikan ZEE mereka di LCS,” tutur Johanes.
Dia mengingatkan bahwa hasil Mahkamah Arbritase Internasional pada 2016 itu bahkan menganggap klaim RRC di sebagian besar wilayah LCS tidak memiliki dasar hukum dan oleh karenanya tidak sesuai dengan UNCLOS. “Namun RRC menolak untuk menaati keputusan mahkamah internasional di atas, sehingga Filipina nampaknya mencoba cara yang lebih halus, yaitu dengan membangun pertemanan dengan RRC, khususnya pada era kepresidenan Durtete,” lanjut Johanes.