Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Militer China Berkembang Pesat, Bagaimana Indonesia Harus Bersikap?

Kekuatan militer China melesat dalam waktu relatif singkat harus menjadi perhatian bagi Indonesia dan negara di kawasan Asia Tenggara lainnya
Foto insiden tabrakan Kapal China dengan kapal Penjaga Pantai Filipina di perairan Laut China Selatan, Selasa (5/3/2024)./X-@jaytaryela
Foto insiden tabrakan Kapal China dengan kapal Penjaga Pantai Filipina di perairan Laut China Selatan, Selasa (5/3/2024)./X-@jaytaryela

Bisnis.com, JAKARTA - Modernisasi Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) China untuk menjadi sebuah kekuatan militer kelas dunia dalam waktu relatif singkat menjadi perhatian bagi Indonesia dan negara di kawasan Asia Tenggara lainnya.

Apalagi seiring dengan upayanya untuk meningkatkan kapasitas militernya itu, China akhir-akhir ini cenderung menempatkan dirinya berhadap-hadapan dengan Barat, dan berpotensi menjadikan kawasan Laut China Selatan (LCS) sebagai arena pertempuran bila konflik dengan kekuatan Barat meletus pada masa mendatang.

Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), Johanes Herlijanto menganggap posisi dampak dari proyek modernisasi angkatan bersenjata China di atas sebagai isu yang sangat penting untuk diketahui dan dipahami baik oleh masyarakat maupun pemerintah Indonesia.  

“Apalagi pada Kongres Nasional Partai Komunis China [PKC] ke-20 tahun 2022 lalu, Xi mengubah target bagi terlaksananya modernisasi angkatan bersenjata dan pertahanan China yang pada awalnya tahun 2035 menjadi tahun 2027,” tuturnya seusai penyelenggaraan diskusi publik 'Modernisasi Militer dan Diplomasi Pertahanan China: Peluang dan Tantangan di Asia Tenggara', dilansir dari siaran pers, Senin (30/9/2024).

Di sisi lain, peningkatan kekuatan militer China berpotensi pula menambah ketegangan antara China dengan negara-negara Asia Tenggara lain yang sebagian wilayahnya diakui oleh China, meski pengakuan China itu bertentangan dengan hukum laut internasional (UNCLOS).

Pengamat keamanan regional Brigadir Jenderal TNI (Purn) Victor P. Tobing dalam paparannya memperlihatkan bahwa modernisasi militer China bukanlah sesuatu yang tiba-tiba.

“Ide mencanangkan modernisasi militer telah ada sejak zaman modernisasi Deng Xiaoping pada tahun 1978,” tuturnya.

Namun perbedaan yang tajam terjadi sejak Xi Jinping mencapai kedudukan tertinggi dan menjadi penguasa partai, militer, dan negara pada 2012.

“Bila pada awalnya China tidak berniat membangun pangkalan militer di luar negeri, sejak diluncurkannya buku putih kedua pada tahun 2013, China mencanangkan agar kekuatan militernya setara dengan posisi internasional China,” tuturnya.

Menurut Victor, inilah yang melatarbelakangi dibangunnya pangkalan militer China di Djibouti, Afrika.

Victor juga memperlihatkan bagaimana China menjadikan sebagian wilayah LCS sebagai rantai kepulauan pertama pertahanan China, sedangkan wilayah Samudra Pasifik, dari mulai bagian utara Papua Barat, Palau, Guam, hingga ke Jepang sebagai rantai kepulauan kedua pertahanan negara itu.

Victor menduga China yang kini memiliki tiga kapal induk dan fasilitas militer di berbagai pulau yang tersebar di LCS tak akan berkesulitan untuk menguasai wilayah yang menjadi rantai kepulauan pertama pertahanannya tersebut.

Tantangan lainnya, menurutnya, antara lain adalah Kongres Nasional PKC ke 21, yang nampaknya hanya akan mengukuhkan Xi menjadi pemimpin China pada periode berikutnya. Victor juga menyoroti belanja pertahanan Indonesia tahun depan sebagai salah satu tantangan lain yang dihadapi Indonesia.

Pembicara lainnya, Direktur Riset Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Aisha Rasyidila Kusumasomantri mengungkapkan bahwa angkatan bersenjata China kini telah menjadi salah satu militer yang sedang mengalami pertumbuhan paling pesat di dunia. 

Menurut Aisha, China saat ini memiliki angkatan laut yang sangat kuat dengan sekitar 370 kapal atau kapal selam dan 140 kapal tempur permukaan laut. Angkatan bersenjata China juga didukung oleh teknologi operasi multidomain dan sistem otonomi berbekal Artificial Intelligence (AI) dan robot.

Namun perkembangan militer China di atas berpotensi menghadirkan tantangan bagi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain mengingat China saat ini berupaya menegakan pengakuan kepemilikannya, yang bertentangan dengan hukum laut internasional (UNCLOS), atas berbagai wilayah di LCS.

Upaya penegakan klaim kepemilikan ini dilakukan China antara lain dengan memperkuat armada penjaga pantainya, melakukan aksi agresif yang dimotori oleh kapal-kapal penjaga pantai, serta menerapkan taktik zona abu-abu (greyzone) untuk mengganggu negara-negara lain yang memiliki Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) di LCS.

Aisha menekankan bahwa Indonesia sebenarnya tidak terlibat dalam klaim kepemilikan baik dengan China maupun dengan negara-negara lain di LCS.

Namun Indonesia tetap saja terimplikasi, dan bisa terkena dampak bila ketegangan di LCS meningkat. Aisha menilai Indonesia masih memiliki beberapa pilihan dalam merespons perkembangan itu.

Pada satu sisi, sambungnya, Indonesia dapat meningkatkan diplomasi pertahanannya dengan China, antara lain dengan menjajaki kemungkinan kerja sama pertahanan antara kedua negara. Namun, Indonesia harus pula meningkatkan pendekatan pertahanan yang mengantisipasi perkembangan di luar Indonesia.

“Antara lain, Indonesia perlu meningkatkan bujet pertahanannya sebagai respons terhadap meningkatnya ketegangan di kawasan,” pungkasnya.

Senada, Peni Hanggarini, Dosen Program Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina juga menyoroti perkembangan pesat militer China akhir-akhir ini.

Menurutnya, alih-alih mengurangi jumlah personal angkatan bersenjatanya, militer China justru semakin kuat dalam bidang teknologi.

"China menggunakan para kaum terdidik dan terlatih pada bidang teknologi informasi untuk militer mereka,” tuturnya.

Dalam pandangan Peni, perilaku China dalam hal kemiliteran dapat dianggap sangat ambisius, asertif, dan agresif yang ditopang oleh upaya untuk mengejar China Dream.

Menurutnya, selain ditujukan untuk menggapai impian untuk mencapai kebangkitan nasional China seiring dengan usia RRC yang ke 100 pada 2049, sikap 3 A yaitu ambisius, asertif, dan agresif di atas juga didorong oleh kompetisi China dengan Amerika Serikat (AS). Peni menjelaskan bahwa perkembangan di atas direspons oleh negara-negara Asean dengan pendekatan yang berbeda-beda.

Indonesia, misalnya, masih menjalin diplomasi pertahanan dengan China, meskipun dalam taraf kerja sama pertahanan yang tergolong masih kategori tingkat rendah. Akhir kata, Peni berpandangan bahwa masih terdapat banyak ruang untuk meningkatkan diplomasi pertahanan Indonesia dengan China, baik secara bilateral maupun dalam konteks China sebagai mitra Asean.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper