Bisnis.com, JAKARTA - Survei dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menemukan bahwa sebagian masyarakat paham soal isu dinasti politik yang dibangun oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) percaya akan hal tersebut.
Sebagian besar dari responden survei yang mengetahui isu tersebut percaya terhadap pandangan bahwa Presiden Jokowi tengah membangun dinasti politiknya jelang Pemilihan Umum atau Pemilu 2024.
Awalnya, responden menjawab pertanyaan apabila mengetahui pendapat bahwa Presiden Jokowi tengah membangun dinasti politik melalui anak dan menantunya. Hasilnya, sebanyak 37% menjawab tahu, sedangkan 63% menjawab tidak.
"Dari yang tahu [37%], 68% menyatakan percaya pandangan bahwa Jokowi sedang membangun politik dinasti. Dari yang tahu itu juga, 75% menyatakan tidak suka Presiden Jokowi membangun politik dinasti," terang Pendiri SMRC Saiful Mujani dalam siaran pers, Jumat (17/11/2023).
Adapun, isu dinasti politik mencuat setelah anak dan menantu Presiden Jokowi memasuki arena kontestasi Pemilu 2024 baik sebagai peserta maupun pendukung/pengusung.
Putra sulung (Gibran Rakbuming Raka) dan menantunya (Bobby Nasution) kini menjabat sebagai kepala daerah, sedangkan putra bungsunya (Kaesang Pangarep) didapuk menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Baca Juga
PSI menjadi salah satu partai pengusung Prabowo-Gibran.
Adapun, putra sulung Jokowi dimaksud, yaitu Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang kini resmi menjadi calon wakil presiden (cawapres) pendamping calon presiden (capres) Prabowo Subianto. Keduanya, menjadi pasangan calon (paslon) nomor urut 2.
Sementara itu, menantu Jokowi Bobby Nasution merupakan Wali Kota Medan yang baru saja dipecat oleh partai asalnya yakni PDI Perjuangan (PDIP) akibat mendeklarasikan dukungannya kepada Prabowo-Gibran, bukan kepada paslon nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang diusung PDIP.
Pada survei terbarunya, Saiful merancang pertanyaan dengan penjelasan lebih spesifik mengenai politik dinasti guna menambah kejelasan bagi masyarakat.
Terhadap pertanyaan tersebut, hanya 38% publik yang tahu atau pernah mendengar mengenai politik dinasti dalam pengertian yang dijelaskan di atas. Sementara itu, 62% tidak tahu. Kemudian, sebanyak 53% responden yang mengetahui politik dinasti menyatakan setuju dengan pandangan bahwa praktik tersebut tidak adil karena mengurangi kesetaraan kesempatan bagi setiap warga untuk menjadi pejabat pemerintahan.
Selebihnya, ada 45% yang tidak setuju dan 2% tidak tahu. Dari yang tahu, sebanyak 85% menyatakan tidak suka dengan politik dinasti, sedangkan 13% menyatakan suka, dan sisanya tidak menjawab.
Kemudian, Saiful menilai sentimen negatif terhadap politik dinasti akan lebih kuat apabila disosialisasikan dan jumlah publik tahu menjadi mayoritas.
“Reaksi keras pada praktik politik dinasti pada Jokowi belum terlihat karena basis yang sekarang mengetahui hal itu masih sedikit, 38%,” kata dia.
Sekadar informasi, survei opini publik itu menggunakan populasi seluruh warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dalam pemilu. Sampel yang diambil yakni sebanyak 2.400 responden dipilih secara acak (stratified multistage random sampling) dari populasi tersebut.
Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) yakni sebesar 1.939 atau 81%. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sekitar 2,3% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling).
Survei dilakukan dengan wawancara lapangan 29 Oktober sampai dengan 5 November 2023, atau setelah tiga pasangan capres-cawapres mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dampak Dinasti Politik
Mengutip mkri.id, politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih idenik dengan kerajaan. sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga.
Apa yang terjadi jika negara atau daerah menggunakan politik dinasti?
Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional, yakni berupa sistem patrimonial, mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi.
Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru.
"Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural. Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur procedural,” ujarnya.
Dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena jika praktik ini makin marak di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet. Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN.
Hal-hal yang membuat dinasti politik muncul adalah:
1. Adanya keinginan dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasaan.
2. Adanya kelompok terorganisir karena kesepakatan dan kebersamaan dalam kelompok, sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok.
3. Adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk menggabungkan kekuatan modal dengan kekuatan Politisi.
4. Pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaaan moda, sehingga mengakibatkan terjadinya kotupsi.
Akibat dari politik dinasti ini, maka banyak pemimpin lokal menjadi politisi yang mempunyai pengaruh, sehingga semua keluarga termasuk anak dan istri berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam sistem pemerintahan.
Selain itu, sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif, sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Dengan politik dinasti, ujarnya, membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Hal sebaliknya pun bisa terjadi, orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga.
Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas.
Kampanye Rekam Jejak
Pengamat Politik Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI) Vishnu Juwono mengatakan bahwa meskipun Presiden Jokowi mendapat kritik terkait politik dinasti, dan bahkan dugaan intervensi di Mahkamah Konstitusi (MK), tapi elektabilitas Prabowo dan Gibran tetap kokoh. Hal itu berdasarkan pada hasil survei dari tiga lembaga survei Indikator, Poltracking, dan Populi menunjukkan popularitas pasangan Prabowo-Gibran melampaui 40 persen.
"Para pemilih sepertinya telah diyakinkan bahwa penerus kebijakan Presiden Joko Widodo adalah pasangan Prabowo-Gibran," ujar Vishnu melansir Antara, Selasa (14/11/2023).
Terlebih, gaya pidato dan berbagai program kebijakan yang dalam bentuk kartu kebijakan dalam beberapa acara benar-benar didesain meniru ayahnya, Presiden Jokowi.
Vishnu mengatakan popularitas Presiden Jokowi, dengan tingkat kepuasan mencapai 75 persen, menjadi tantangan bagi pasangan Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin yang sebenarnya memiliki rekam jejak lebih lengkap di pemerintahan daerah dan pusat.
"Elite partai politik pendukung kedua pasangan sebaiknnya menghentikan upaya menyerang Joko Widodo dan Gibran dengan isu politik dinasti dan pengkhianatan politik, seiring mayoritas masyarakat yang tampaknya tidak memprioritaskan hal tersebut," ujarnya.
Mereka sebaiknya menyampaikan proposal kebijakan alternatif terutama dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial yang ditawarkan ke masyarakat yang tentunya diharapkan sebagai alternatif dari kebijakan Jokowi selama lebih dari 9 tahun ini.
"Sebaiknya pasangan Ganjar-Mahfud dan Amien-Muhaimin segera mengampanyekan rekam jejak mereka dan proposal kebijakan sebagai alternatif kebijakan pemerintah Presiden Jokowi," tegas Vishnu.
Vishnu mendorong ketiga kandidat presiden dan wakil presiden serta masing-masing elite politik pendukungnya untuk menjalankan kampanye yang konstruktif, fokus pada solusi kebijakan, dan merespons aspirasi rakyat dengan proposal kebijakan yang tepat.
Pintu Masuk Gibran
Dinasti politik dikaitkan pada Jokowi berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang memicu polemik batas usia capres-cawapres. Terlebih, saat putusan itu dibuat, Ketua MK dijabat oleh Anwar Usman yang merupakan ipar Presiden Jokowi atau paman dari Gibran.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).
Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedianya berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”
Atas putusan MK ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah," ujar hakim Anwar Usman.
Dengan demikian, Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi, “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Atas putusan MK tersebut, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
Putusan MK ini menuai kritik publik, misalnya, Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi menilai, MK telah inkonsisten dalam memutus perkara unsur batas umur capres-cawapres.
Dia mengatakan, bahwa MK telah melewati wewenangnya.
“MK telah mengambil alih peran DPR dan pemerintah, dua institusi yang mempunyai kewenangan legislasi, karena dengan putusan menerima dan mengubah bunyi pasal tersebut, artinya MK menjalankan positive legislator,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Selasa (17/10/2023).
Dia menyebut, bahwa MK telah menafsirkan aturan yang bersifat open legal policy atau kebijakan terbuka. MK dinilai telah menyimpang secara konstitusi.
Hendardi juga menyebut MK sudah mengarah pada promosi judisialisasi politik otoritarianisme.
Sebelumnya, MK menolak tiga permohonan uji materi batas minimal usia capres-cawapres yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan sejumlah kepala daerah.