Bisnis.com, JAKARTA – Politik dinasti kembali banyak diperbincangkan belakangan ini. Biang keroknya: putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, maju menjadi cawapres dalam ajang Pilpres 2024.
Sejumlah pihak pun kembali menyinggung permasalahan etika politik: politik dinasti yang sangat kental dengan feodalisme seharusnya tidak ada di dalam kultur demokrasi. Apalagi, Gibran bisa maju lewat putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK). Meski demikian, survei Indikator Politik Indonesia pada 27 Oktober hingga 1 November 2023 menunjukkan mayoritas publik (52,6 persen) meyakini politik dinasti tidak menghambat demokrasi asal tetap dipilih langsung oleh rakyat.
Artinya, toleransi terhadap politik dinasti menguat. Tak heran memang, sejumlah elite politik bahkan orang nomor satu di Indonesia sekalipun membela pandangan mayoritas masyarakat ini.
Jokowi seakan sudah yakin masyarakat banyak tidak akan mempersoalkan politik dinasti. Ketika dituding langgengkan politik dinasti, kepala negara sekaligus pemerintahan ini menyatakan akan menyerahkan penilaian kepada masyarakat.
“Ya itu masyarakat yang menilai karena dalam pemilihan pun baik itu di pilkada, di pemilihan wali kota, pemilihan bupati, pemilihan gubernur, pemilihan presiden, itu semuanya yang memilih rakyat, yang menentukan itu rakyat, yang mencoblos juga rakyat; bukan kami, bukan elite, bukan partai. Itulah demokrasi,” ujar Jokowi di Plataran Hutan Kota Senayan, Selasa (24/10/2023).
Dia berpendapat esensi demokrasi adalah pemilihan langsung oleh rakyat. Menurutnya, demokrasi harus dilihat dari tujuannya (pemilihan langsung). Oleh sebab itu, politik dinasti bisa berjalan beriringan dengan demokrasi selama tetap ada pemilihan langsung oleh rakyat.
Baca Juga
Meski demikian, Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN) Firman Noor menekankan esensi demokrasi tidak sesederhana yang disampaikan Jokowi.
Firman berpendapat, cara berpikir Jokowi seakan menyamakan rakyat dengan pelanggan restoran: dalam restoran, pelanggan hanya bisa memilih makanan yang sudah ada di menu. Padahal, dalam pengertian demokrasi, pelanggaran harus bisa menentukan apa saja yang ada di dalam menu sebelum memilihnya.
“Artinya demokrasi itu tidak bisa diujung. Demokrasi itu adalah proses ketika orang sepakat semuanya, 'Kita akan bikin menu apa,' gitu. Jadi bukan yang tersedia di depan meja gitu ya, tapi prosesnya dari hilir ke hulu. Jadi ada proses yang memang demokratis,” jelas Firman kepada Bisnis, dikutip Senin (13/11/2023).
Pertanyaannya kini: apa itu demokrasi? Firman menerangkan tiga prasyarat demokrasi. Menurutnya, pencalonan suatu capres-cawapres bisa dianggap demokratis apalagi memenuhi tiga prasyarat ini.
Pertama, supremasi hukum. Pencalonan capres-cawapres tidak bisa menabrak atau mengakali hukum.
Kedua, partisipasi yang maksimal. Meski konstitusi mengamanatkan partai politik sebagai lembaga yang berhak mencalonkan capres-cawapres, namun harus tetap melalui partisipasi bermakna.
“Mendengar masukan kiri-kanan, bukan dipaksakan, bukan dari atas,” ujar Firman.
Ketiga, demokrasi selalu rasional. Oleh sebab itu, setiap putusan politik harus melalui pertimbangan pragmatis-rasional bukan pertimbangan primordial seperti alasan kekeluargaan.
Jika ketiga prasyarat itu sudah terpenuhi dari hulu maka pencalonan capres-cawapres bisa dikatakan demokratis. Firman berpendapat, jika demokrasi hanya dilihat melalui pemilihan oleh rakyat maka tidak akan ada beda Era Reformasi sekarang ini dengan Orde Baru dahulu.
“Ya kalau hanya pilihan rakyat, sekali lagi mohon maaf, di era Orde Baru kita semua memilih Golkar, mayoritas. Apakah kita bisa bilang Zaman Soeharto itu demokratis?” tutupnya.