Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rawan Korupsi Barang dan Jasa, Data Pemilik Manfaat Korporasi Didorong Lebih Terbuka

Strategi Nasional Pencegahan Korupsi berpacu dengan waktu untuk mendorong penguatan dan pemanfaatan basis data pemilik manfaat korporasi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Hasbi Hasan atas kasus suap penanganan perkara, Rabu (12/7/2023). JIBI/Bisnis-Dany Saputra.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Hasbi Hasan atas kasus suap penanganan perkara, Rabu (12/7/2023). JIBI/Bisnis-Dany Saputra.

Bisnis.com, JAKARTA - Sekitar empat tahun belakangan ini, Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) berpacu dengan waktu untuk mendorong penguatan dan pemanfaatan basis data pemilik manfaat korporasi atau beneficial ownership (BO). 

Salah satu aksi Stranas PK itu pada hilirnya memiliki tujuan untuk memberantas korupsi. Sejalan dengan upaya untuk mendorong keterbukaan pemilik manfaat korporasi di Tanah Air, kasus korupsi hingga pencucian uang marak terjadi. 

Belum lagi, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia malah makin anjlok 4 poin menjadi 34. Skor ini sangat rendah dan belum mampu melesat sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat sebagai presiden pada 2014 lalu.

Oleh sebab itu, melalui lini pencegahan korupsi, Stranas PK mendorong pemerintah untuk meningkatkan kualitas data BO dengan berkoordinasi bersama Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Data pemilik manfaat dari korporasi yang lebih berkualitas diharapkan bisa dipadankan dengan data-data kementerian/lembaga lainnya guna melakukan pencegahan tindak pidana korupsi. 

Salah satu tujuan peningkatan kualitas data BO itu yakni untuk mempersempit hingga menutup celah korupsi , salah satunya di pengadaan barang dan jasa. Sekadar informasi, sejalan dengan upaya memverifikasi dan memadankan data BO, praktik korupsi pengadaan barang dan jasa kerap terjadi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat selama semester I/2023 saja telah melaksanakan empat operasi tangkap tangan (OTT) terkait dengan suap pengadaan barang dan jasa. OTT tersebut dilakukan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Meranti dan Kota Bandung, Kementerian Perhubungan (Kemenhub), dan teranyar di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).  

Adapun merujuk pada Laporan Penilaian Risiko Sektoral Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPU dan TPPT), Stranas PK mencatat bahwa jenis korporasi yang tergolong berisiko tinggi TPPU yakni konstruksi, perdagangan, investasi dan keuangan, pertambangan, dan distribusi.  

Sampai dengan Agustus 2023, Stranas PK mencatat baru 883 korporasi di sektor konstruksi yang telah mendeklarasikan data pemilik manfaatnya dan dipadankan. Padahal, terdapat total 3.559 korporasi yang diidentifikasi berisiko tinggi TPPU, terdiri dari 1.050 korporasi sektor konstruksi, 1.965 di sektor investasi dan keuangan, 544 di sektor pertambangan dan distribusi. Sementara itu, sektor perdangangan juga diidentifikasi berisiko tinggi pencucian marak pencucian uang namun belum diketahui jumlahnya. 

Di sisi lain, Stranas PK menilai target deklarasi dan pemadanan data BO pada 3.559 perusahaan itu hanya puncak dari gunung es. Koordinator Pelaksana Stranas PK Pahala Nainggolan mengungkap bahwa utamanya ingin agar keterbukaan pemilik manfaat korporasi bisa menjadi kebiasaan di Indonesia, serta diterapkan pada seluruh badan hukum yang terdaftar di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU).

Meski demikian, Pahala mengaku ingin lebih realistis dengan memprioritaskan deklarasi, verifikasi, hingga pemadanan data BO korporasi terlebih dahulu. Dia menilai hal tersebut setidaknya bisa membantu menutup celah korupsi.

"Kita dorong supaya yang namanya BO, legal owner-nya yang disebut di pengurus dan pemilik saham harus ditulis, karena sebenarnya pengendali [korporasi] yang kita cari sebenarnya," terang Pahala saat ditemui Bisnis di Jakarta, Kamis (26/10/2023).

Pria yang juga menjabat sebagai Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK itu mengharapkan satu hal: pemadanan dan integrasi berbagai data yang dibutuhkan untuk mencegah praktik rasuah. Salah satunya, yakni data pemilik manfaat korporasi. 

Pengawasan Lebih Mudah

Pahala menyatakan pengawasan oleh lembaga antikorupsi akan jauh lebih mudah apabila data BO bisa dipadankan dengan kementerian/lembaga lainnya. Contohnya, pemadanan data BO dengan data pengadaan barang dan jasa di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa (LKPP).

"Jadi kita usulkan ke LKPP agar semua procurement [pengadaan] di naisonal bisa dimonitor dalam satu sistem. Misalnya, ada 10 perusahaan ikut tender A di suatu kota, tetapi [bisa diketahui] sebenarnya BO-nya cuma ini loh. Itu segera bereaksi LKPP," tuturnya. 

Pahala juga menyinggung pentingnya pemadanan data BO dengan data pajak di Direktorat Jenderal Pajak. Pemadanan itu diharapkan bisa meningkatkan kepatuhan pajak yang dibayarkan oleh korporasi maupun para pengendali/pemilik manfaat dari badan usaha tersebut. 

"Kita ingin orang bayar pajak lebih banyak. Gitu saja. Tidak masalah orang punya 100 perusahaan sawit namun semua pengendalinya cuma lima [orang], tidak apa-apa, yang penting bayar [pajak]," terangnya. 

Pada perkembangan terpisah, Stranas PK juga menyoroti potensi kerugian negara lantaran sekitar 14.000 NIK teridentifikasi menerima bantuan sosial (bansos) namun tercatat memiliki jabatan/usaha terdaftar di database Ditjen AHU. 

Kini, bola panas ada di tangan Ditjen AHU untuk mendorong secara langsung verifikasi data BO tersebut kepada korporasi. Direktur Jenderal AHU Kemenkumham Cahyo R Muzhar mengatakan bahwa perusahaan yang tidak patuh melakukan verifikasi atau mendeklarasikan data BO maka akan diblokir aksesnya terhadap data korporasi AHU. 

"Misalnya suatu PT atau perusahaan melalui notaris tidak bisa melakukan perubahan akses sistem AHU untuk melakukan perubahan data melingkupi anggaran dasar, pengurus dan pemegang saham," ujarnya saat dihubungi Bisnis, Jumat (27/10/2023). 

Kendati upaya tersebut, kepatuhan dari para korporasi tercatat masih belum optimal. Cahyo mencatat tingkat kepatuhan korporasi terkait dengan deklarasi data BO baru mencapai 36 persen dari total 2,7 juta korporasi yang tercatat di database AHU.

Oleh karena itu, dia mengatakan pihaknya akan lebih tegas menindak para korporasi yang masih "nakal" dan tidak mengikuti amanat Presiden sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.13/2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan TPPU dan TPPT. 

"Ke depan kita juga buat sanksi lebih ke upaya paksa yang koersif. Ke depan ada sanksi-sanksi seperti pembekuan kemudian sanksi," ujarnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper