Bisnis.com, JAKARTA - Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar menjalani persidangan pertama di Ruang Sidang Utama, Pengadilan Negeri Jakarta Timur terkait UU ITE yang melibatkan pejabat publik.
Fatia dan Haris dilaporkan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan setelah memaparkan penelitian tentang bisnis militer di Blok Wabu, Papua. Paparan keduanya dianggap bohong dan mencemarkan nama baik Menko Luhut.
Penelitian berjudul "Ekonomi-Politik Penempatan Militer, Studi Kasus Intan Jaya di Papua" itu dilakukan oleh 9 lembaga di antaranya YLBHI, WALHI, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace, Trend Asia.
Seperti diketahui, Haris Azhar merupakan pendiri Lokataru Foundation, organisasi sipil yang bergerak di bidang riset hukum dan HAM. Sedangkan Fatia Maulidiyanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Jentera sekaligus Koordinator KontraS, lembaga yang juga bergerak di bidang HAM.
Merujuk pada surat dakwaan keduanya, Fatia didakwa dengan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE atau Pasal 14 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1946 subsider Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 atau Pasal 310 ayat (1) KUHP.
Tak jauh berbeda, Haris didakwa dengan susunan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE, Pasal 14 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1946 subsider Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 atau Pasal 310 ayat (1) KUHP.
Baca Juga
Tim kuasa hukum Fatia dan Haris, Muhammad Isnur mengatakan jeratan UU ITE kepada pihak yang mengkritisi pemerintah memperlihatkan adanya kemunduran demokrasi. Baginya, jika pejabat publik atau pemerintah merasa benar, tunjukkan saja data ke publik.
“Aktivitas yang dilakukan oleh Fatia dan Haris merupakan ekspresi seorang warga negara yang dilindungi konstitusi sehingga tidak dapat dikenakan tindak pidana, terlebih sampai pada proses di pengadilan,” kata Isnur, Senin (3/4)
Keduanya, lanjut Isnur, merupakan peneliti di organisasi sipil, sama seperti jurnalis dari media yang resmi yang melakukan kerja-kerja jurnalistik. Sehingga UU ITE dengan delik pencemaran nama baik memang terlihat sekali sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat.
Selain itu, penggunaan pasal UU ITE terhadap Fatia dan Haris menunjukan lemahnya komitmen pemerintah dalam mengimplementasi SKB Pedoman Implementasi UU ITE. Dalam dokumen tersebut disebutkan pada poin 3 huruf c bahwa Pasal 27 ayat (3) tidak dapat dikenakan pada bentuk penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.
Sayangnya, pendapat yang berbasis pada sebuah kajian atau riset terhadap suatu kebijakan penting di Papua dengan melibatkan skandal konflik kepentingan pejabat publik justru dipidanakan.
"Aktivitas yang dilakukan oleh Fatia dan Haris merupakan bagian dari upaya masyarakat sipil dalam mengontrol kerja pemerintah dan pejabat publik agar tak terjadi absolutisme atau penyimpangan kekuasaan. Dalam negara demokrasi, ada proses adu data,” jelasnya.
Selain itu, sepanjang proses hukum berjalan, tim hukum menemukan sejumlah kejanggalan. Secara formil, JPU melakukan pemisahan berkas perkara pidana (splitsing) terhadap Fatia dan Haris.
Hal ini tentu saja janggal, sebab keduanya berada dalam satu video dan platform yang sama serta tindakan baik Fatia - Haris tidak dapat dipisahkan.
Dalam persidangan pertama ini, Tim kuasa hukum Fatia dan Haris pun telah mengajukan surat permohonan penggabungan perkara kepada PN Jakarta Timur dan JPU.
Hal tersebut sejalan dengan asas non self-incrimination sebagaimana diatur oleh Pasal 14 angka (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang juga Indonesia telah ratifikasi lewat UU No, 12 Tahun 2005.
"Dalam kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris, Jaksa tidak mengerti pembahasan dan pokok permasalahan pada masalah ini. Jaksa enggan untuk menyentuh pada aspek yang lebih substansial dengan mempertimbangkan riset ekonomi-politik penempatan militer di Papua tersebut,” tambah Isnur.