Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menceritakan kronologi penangkapan buron tersangka suap dan gratifikasi proyek di Mamberamo Tengah, serta pencucian uang Ricky Ham Pagawak di Jayapura, Minggu (19/2/2023).
Proses penangkapan Ricky awalnya dimulai dari informasi yang didapatkan oleh aparat penegak hukum dari seorang penghubung. Saat itu, politikus Partai Demokrat itu sudah berada di Papua, setelah sebelumnya berada di Papua Nugini.
Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri menceritakan bahwa saat itu Ricky tengah berada di suatu rumah, dengan kondisi tertutup dan memiliki pagar yang tinggi. Kendati beberapa kali upaya pengedoran tidak direspons, KPK tetap meyakini bahwa tersangka ada di dalam rumah.
"Sehingga kemudian betul ya kemudian kami buka paksa itu, pagarnya, kami dobrak dan kemudian di dalam ternyata betul ada RHP [Ricky Ham Pagawak]," terang Ali, dikutip Rabu (22/2/2023).
Saat memasuki rumah, Ricky disebut tengah duduk dan sontak kaget ketika KPK masuk dan menyerahkan surat penangkapan. Bupati Mamberamo Tengah dua periode itu juga disebut kooperatif saat ditahan.
Sebelumnya, ketika ditetapkan sebagai DPO pada Juli 2022, Ricky melarikan diri ke Papua Nugini tidak melalui jalur resmi.
Baca Juga
"Dugaannya, bukan melalui jalur resmi. Dia melalui jalur jalan tikus," ucap Ali.
Setelah resmi menjadi tahanan, kini pengusutan kasus Ricky akan fokus di antaranya mengenai penelusuran aset-aset yang dimiliki atau diduga merupakan hasil dari suap dan gratifikasi.
Untuk diketahui, hasil sitaan yang saat ini sudah ditahan KPK yakni berbentuk tanah, bangunan, kendaraan, serta uang tunai yang memiliki total hingga Rp16 miliar.
"Tentu kami masih terus melakukan penelusuran aset-aset dimaksud karena kemarin sudah disampaikan tersangka [Ricky Ham Pagawak] menikmati hasil suap dan gratifikasi kurang lebih Rp200 miliar," tuturnya.
Adapun berdasarkan konstruksi perkara, Ricky diduga menentukan sendiri para kontraktor proyek di Mamberamo Tengah, selama dirinya menjabat sebagai Bupati pada 2013-2018 dan 2018-2023.
Proyek yang dimaksud memiliki nilai kontrak pekerjaan mencapai belasan miliar rupiah. Ricky lalu menetapkan syarat agar para kontraktor bisa memenangkan tender proyek di daerah kepemimpinannya itu, yakni dengan menyetorkan sejumlah uang.
Terdapat tiga pihak swasta yang sudah ditetapkan sebagai tersangka sebelumnya bersama dengan Ricky. Pertama, Direktur PT Bumi Abadi Perkasa atau BAP Jusieandra Pribadi Pampang (JPP) diduga mendapaykan 18 paket pekerjaan dengan total nilai Rp217,7 miliar di antaranya pembangunan asrama mahasiswa di Jayapura.
Kedua, Direktur PT Solata Sukses Membangun (SSM) Marten Toding (MT) diduga mendapatkan tiga paket pekerjaan dengan nilai Rp9,4 miliar. Ketiga, Direktur Utama PT Bina Karya Raya (BKR) Simon Pampang (SP) diduga mendapatkan enam paket pekerjaan dengan nilai Rp179,4 miliar.
"RHP kemudian bersepakat dan bersedia memenuhi keinginan dan permintaan SP, JPP, dan MT dengan memerintahkan Dinas Pekerjaan Umum untuk mengondisikan proyek-proyek yang nilai anggarannya besar diberikan khusus pada SP, JPP, dan MT," ucap Ketua KPK Firli Bahuri pada konferensi pers, Senin (20/2/2023).
Dari uang gratifikasi diduga diterima, Ricky lalu diduga melakukan pencucian uang berupa membelanjakan, menyembunyikan maupun menyamarkan asal-usul dari harta kekayaan yang berasal dari korupsi.
Adapun selama proses penyidikan, KPK telah memeriksa 110 sebagai saksi dan juga menyita berbagai aset seperti berbagai bidang tanah dan bangunan; apartemen di Kota Jayapura, Tangerang, dan Jakrta Pusat, serta beberapa unit mobil mewah dengan berbagai tipe.
Atas perbuatannya, Ricky disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-undang Republik Indonesia no.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang Perubahan ata UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 3 dan 4 UU No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.