Bisnis.com, JAKARTA –Organisasi Hak Asasi Manusia, Human Rights Watch mewanti-wanti pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia agar berjalan dengan damai dan demokratis.
Peneliti Indonesia Andreas Harsono mengatakan bahwa dalam memilih seorang pemimpin, maka harus dilakukan melalui pemilihan umum (pemilu) yang tertib. Mengingat, pemilu bukan hanya sekadar untuk mencari pemimpin baru.
"Pemilu bukan sekadar memilih pemimpin baru atau ibaratnya seperti menggantikan konten yang lama dengan yang baru, namun mempertahankan dan memilih pemimpin yang lebih baik pada arah nasional, provinsi maupun kabupaten atau kota. Jadi itu tujuan demokrasi," sebut Andreas dalam press conference Human Right Watch di Jakarta pada Kamis (12/1/2023).
Andreas berpesan agar seluruh masyarakat dapat lebih bijaksana dalam menyelenggarakan pemilu. Dengan begitu, ini akan menghindari adanya korban jiwa yang seharusnya tidak boleh sampai terjadi.
"Pergantian pemimpin harus dilakukan dengan cara yang damai, kalau tidak menggunakan demokrasi setiap kali terjadi perubahan pemimpin, itu bisa berdarah," kata Andreas.
"Kita belajar dari pergantian presiden Soekarno ke Soeharto, kemudian juga dari pergantian presiden Habibie ke presiden Wahid, disitu ada 90.000 orang mati. jadi itu substansi dari sekarang banyak orang jadi itu takut bila terjadi pemilihan umum," sambungnya.
Lebih lanjut, Andreas mengatakan bahwa pemilihan pemimpin harus menghindari penggunaan embel-embel agama. Sebab, inilah yang memicu adanya perpecahan dan menyebabkan adanya korban jiwa.
"Karena memakai sentimen-sentimen agama ini tidak boleh, kita harus menggalang suara yang satu. Saya kira embel-embel agama itu jalan yang salah. Polisi kita harus berani," kata Andreas.
Tak hanya itu, Andreas juga menyebut bahwa calon pemimpin harus beradu secara sehat soal siapa diantara mereka yang bisa menjadi pemimpin yang lebih baik untuk memperbaiki keadaan Indonesia.
"Mungkin bersaing dengan program-program dan yang lainnya agar demokrasi di Indonesia semakin bermutu, menurut saya tidak boleh atau tidak elok buat politisi bersaing dengan menggunakan kebencian," sebutnya.
Selain itu, dia juga berharap agar dalam pemilihan politik ini tidak ada satupun politikus dari Aceh sampai Papua yang memiliki niat buruk saat mencari dukungan masyarakat.
Kembali lagi dia berpesan agar jangan sampai menggunakan kebencian untuk mendapatkan suara. Sebab, itu akan merusak demokrasi, baik itu terhadap minoritas agama minoritas gender, minoritas seksualitas, maupun disabilitas.
"Saya selalu ingat sebuah kata yang bikin saya trauma kata itu dalam bahasa Madura 'Mateh Kebih'. Dari tahun 1999 sampai tahun 2001 ketika banyak orang Madura di bumi sebagian saya kenal mereka selalu bilang dalam bahasa Madura semua mati, saudara saya semua mati. kenapa? karena waktu itu terjadi pergantian pemimpin dan gubernur," sebutnya.
"Berbahaya sekali menggunakan sentimen-sentimen kebencian di dalam pergantian pemimpin, kita tidak boleh sampai seperti itu. Namun, saya tahu bahwa meski dilarang juga tidak mungkin ada kebebasan untuk ekspresi yang secara ideal. Harusnya tidak membatasi berbagai macam sentimen ini, tetapi ketika sudah ada kata bunuh, bakar, binasa, musnahkan dan seterusnya, saya kira harus ada upaya-upaya yang serius buat menghindari para politisi kita menggunakan kata-kata yang berbau kekerasan," sambungnya.