Bisnis.com, JAKARTA – Human Rights Watch (HRW) menilai jumlah kasus pelanggaran HAM berat yang diakui oleh pemerintah hanya 12 kasus sejak 1965. Angka ini masih terlalu sedikit dan pembenahan masih terus dilakukan.
Peneliti Senior HRW Andreas Harsono menuturkan langkah pengakuan atas 12 kasus HAM berat merupakan langkah yang benar, tetapi jumlah kasus yang dilaporkan masih belum sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan. Pengakuan kasus yang dilakukan oleh pemerintah cenderung terlambat dan terlalu sedikit.
"Itu langkah yang benar, tetapi jumlah kasusnya terlalu sedikit dan terlambat, daripada mengeluh soal terlambat ya jalan saja," terangnya di Peluncuran World Report HRW 2023, Jakarta, Kamis (12/1/2023).
Andreas mencontohkan sejumlah kasus yang perlu untuk diusut tuntas, di luar 12 kasus yang diumumkan oleh Presiden Jokowi. Misalnya, kasus warga etnik Madura pada 1997 dan kasus pelanggaran HAM di Timor Leste.
Tidak hanya itu, Andreas turut mendorong beberapa kasus yang setidaknya terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Contohnya, kasus HAM di Papua dan pengusiran paksa Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar di 2016.
"Itu data-datanya masih segar. Tidak hanya yang terjadi selama periode pemerintahan Jokowi, tetapi juga sebelum-sebelumnya. Data-datanya masih bisa dicari, didokumentasikan, kemudian diungkap ke publik," jelasnya.
Di samping itu, Andreas turut menekankan bahwa setelah pengakuan pemerintah, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah mencari kebenaran mengenai kasus-kasus tersebut. Contohnya, mencari kebenaran mengenai penculikan aktivis yang hilang.
"Dicari di mana. Kalau mati, kerangkanya di mana. Dicari kebenarannya, didokumentasikan. Kalau masih hidup dicari, kalau meninggal dicari kuburannya," ucapnya.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi menjabarkan terdapat 12 kasus pelanggaran HAM di Tanah Air yang sudah terjadi, beberapa di antaranya peristiwa 1965-1966 dan peristiwa penembakan misterius pada 1982—1985. Dia memastikan akan memulihkan hak para korban terkait.
“Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Oleh karena itu yang pertama, saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian Yudisial,” tuturnya di Istana Negara, Rabu (11/1/2023).
Jokowi juga memastikan upaya pemerintah agar pelanggaran HAM berat, tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang. “Saya minta kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar kedua hal tersebut bisa terlaksana dengan baik,” ujarnya.
Presiden RI Ke-7 ini juga berharap agar kedua upaya tersebut menjadi langkah untuk memulihkan hak-hak korban. “Semoga upaya ini menjadi langkah yang berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa guna memperkuat kerukunan nasional kita dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” pungkas Jokowi.