Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkap alasan pemerintah menyelesaikan kasus pembantaian massal 1965-1966 melalui jalur nonyudisial.
Mahfud membantah bahwa penyelesaian non-yudisial terkait pelanggaran HAM berat masa lalu bukan dilakukan untuk menghidupkan komunisme.
Hal ini disampaikannya usai menyampaikan laporan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) Berat Masa Lalu ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Rabu (11/1/2023).
"Masalah peristiwa 65 ada yang menuding itu untuk menghidupkan kembali komunisme dan sebagainya itu tidak benar," katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Penyebabnya, dia menyebutkan bahwa korban dari peristiwa pembantaian 1965 tersebut bukan hanya terhadap keluarga PKI, tetapi juga ada korban dari ulama hingga tentara.
“Karena berdasarkan hasil tim ini justru yang harus disantuni bukan hanya korban-korban dari pihak PKI tetapi juga direkomendasikan korban kejahatan yang muncul di saat itu termasuk para ulama dan keturunannya,” imbuhnya.
Baca Juga
Dia melanjutkan, selanjutnya seluruh korban dan keluarga dari pembantaian 1965 akan ditindaklanjuti melalui pemberian bantuan dari Pemerintah.
"Semua [korban dan keluarga korban] itu akan diberi santunan, rehabilitasi," imbuhnya.
Tidak Diskreditkan Islam
Selain itu, dia kembali menegaskan bahwa pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu seperti peristiwa pembunuhan Dukun Santet 1998-1999 juga bukan untuk mendiskreditkan Islam, sebab ditekankan olehnya bahwa korban-korban yang haknya dipulihkan justru banyak dari kalangan ulama.
"Tidak benar juga apabila pemulihan hak korban ini disebut mau memberi angin kepada lawan Islam karena dukun santet di Banyuwangi. Itu yang akan diselesaikan dan disantuni oleh atas rekomendasi PPHAM ini semuanya ulama. Di Aceh itu semuanya Islam. Kenapa harus dikatakan bahwa ini untuk mendiskreditkan Islam untuk memberi angin kepada PKI itu sama sekali tidak benar karena soal PKI itu sudah ada Tap MPR-nya," paparnya.
Kemudian, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini juga memberikan penjelasan soal peristiwa seperti apa yang dikategorikan pelanggaran HAM berat. Apalagi, dikatakannya tidak semua peristiwa menghilangkan nyawa seseorang melanggar HAM berat.
"Pelanggaran HAM berat itu beda dengan kejahatan. Contohnya, kalau orang membunuh 50 orang di sini misalnya, ada tukang kebun membunuh 50 orang di sini, itu kejahatan berat, tetapi kalau ada pejabat merencanakan membunuh seseorang secara terstruktur itu namanya pelanggaran HAM berat. Terutama kalau motif politik, motif SARA dan sebagainya, pembantaian etnis. Jadi pelanggaran HAM berat walau mungkin korbannya 5 orang," ujarnya.
Mahfud menjelaskan, meski korban tewas dalam sebuah peristiwa mencapai 200 orang atau kasus mutilasi 11 orang, belum tentu kasus itu masuk pelanggaran HAM berat.
"Bahkan saat ada kejahatan berat mungkin korbannya 200 orang atau membunuh 11 orang dipotong-potong, itu bukan pelanggaran HAM berat, itu kejahatan berat. Jadi, antara pelanggaran HAM berat dan kriminal itu berbeda. Hanya istilahnya saja dan cara menyelesaikannya," tuturnya.
Lebih lanjut, Mahfud menekankan, tidak bisa secara sembarangan menentukan sebuah peristiwa pembunuhan atau penghilangan nyawa seseorang adalah pelanggaran HAM berat. Penyebabnya, ada lembaga khusus yang bisa menyatakan apakah peristiwa itu melanggar HAM berat atau tidak.
"Orang bicara pelanggaran HAM berat itu yang boleh menetapkan pelanggaran HAM itu berat atau kejahatan itu berat hanya Komnas HAM. Kalau Komnas HAM bilang tidak, ya tidak. Apakah tidak dihukum? Dihukum tapi lewat hukum tentang kejahatan, hukum pidana biasa, itu aja dong," katanya.
Jalur yang Akan Ditempuh Pemerintah
Meski begitu, Menteri Pertahanan pada Kabinet Persatuan Nasional ini menegaskan bahwa jalur selanjutnya yang akan ditempuh oleh Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) Berat Masa Lalu untuk menyelesaikan tugasnya adalah dengan tetap menempuh jalur yudisial.
“Tim ini tidak meniadakan proses yudisial, karena di dalam Undang-undang disebutkan pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi sebelum tahun 2000 itu diselesaikan melalui pengadilan HAM Ad Hoc atas persetujuan DPR, sedangkan yang sesudah tahun 2000 diselesaikan melalui pengadilan HAM biasa,” ujarnya.
Sementara itu, alumnus Universitas Gadjah Mada ini mengatakan bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah tahun 2000 akan diadili melalui pengadilan HAM biasa. Hal ini dibuktikan melalui langkah Pemerintah yang sudah membawa empat kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah tahun 2000, meskipun para pelakunya dibebaskan.
"Semua tersangkanya dibebaskan karena tidak cukup bukti untuk dikatakan pelanggaran HAM berat. Bahwa itu kejahatan, iya, tapi bukan pelanggaran HAM berat karena itu berbeda. Kalau kejahatannya semua sudah diproses secara hukum tetapi yang dinyatakan pelanggaran HAM beratnya itu memang tidak cukup bukti," tandasnya.
Lebih rinci, dia menjelaskan bahwa UU Pengadilan HAM juga mengatur bahwa tidak ada masa kedaluwarsa untuk memproses hukum pelanggaran HAM berat sehingga dirinya memastikan pemerintah akan terus berupaya menempuh jalur yudisial untuk mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
"Kami akan terus usahakan itu dan persilakan Komnas HAM bersama DPR dan kita semua mencari jalan untuk itu. Jadi, tim ini tidak menutup dan mengalihkan penyelesaian yudisial menjadi penyelesaian nonyudisial, bukan, yang yudisial silakan jalan," pungkas Mahfud.