Bisnis.com, JAKARTA – Debat calon wakil presiden (cawapres) memicu polemik. Perdebatan antar kandidat cawapres pada akhir pekan lalu dinilai hanya menghasilkan gimik politik dan jauh dari substansi.
Aksi para cawapres itu tentu jauh jika dibandingkan dengan ketajaman berpikir para intelektual atau politikus masa lalu. Perdebatan politikus pada masa lalu lebih mengedepankan substansi. Mereka tahu betul etika berdebat secara bermartabat, betapapun kerasnya adu gagasan itu berlangung.
Salah satu adegan yang menarik untuk menjadi referensi adalah perdebatan antara politikus Masyumi Jusuf Wibisono dengan politikus Partai Komunis Indonesia (PKI), DN Aidit. PKI dan Masyumi adalah dua partai yang saling bersaing dalam kontestasi politik Pemilu 1955.
Kedua partai ini merepresentasikan kubu Islam dan kubu Komunis. Dua kekuatan politik yang dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan tak pernah bisa bersatu. Elite-elite politiknya tidak pernah akur dan sering terlibat dalam banyak konflik politik.
Perdebatan antara Jusuf Wibisono dan DN Aidit berlangsung di parlemen, pada tanggal 13 Desember 1954. Harian Rakjat, surat kabar yang terafiliasi dengan PKI, pada edisi 5 Maret 1955, merekam begitu detail perdebatan antara Jusuf dan Aidit.
Syahdan, insiden debat di parlemen itu dipicu oleh pernyataan Jusuf dalam sidang parlemen yang berlangsung pada tanggal 13 Desember 1954. Jusuf Wibisono pada waktu itu menyitir pernyataan dari tokoh revolusioner sekaligus pendiri Uni Soviet, Vladimir Lenin.
Baca Juga
Ia menggambarkan Lenin telah mengajarkan kepada para pengikutnya, kaum Bolshevik, untuk menghancurkan lawan-lawan politiknya melalui serangan atau tuduhan yang membabi buta.
“Lenin mengadjarkan kepada kaum Bolsjewik bahwa untuk menghancurkan lawan2 politik, merekat tidak usah segan2 untuk melantjarkan tuduhan2 jang seberat-beratnya kepada lawan politik itu, sekalipun mereka ini orang2 djujur. Kata-kata tuduhan itu harus dipilih demikian rupa, sehingga menimbulkan kebentjian dan kedjidjikan rakyat kepada mereka. Demikian adjaran Lenin."
Pernyataan Jusuf kemudian memicu pertentangan dengan kubu PKI yang jelas-jelas memiliki ikatan ideologis dengan Leninisme. Harian Rakjat menggambarkan suasana sidang tersebut berlangsung riuh. Pernyataan Jusuf Wibisono kemudian diteriaki palsu oleh peserta sidang, khususnya dari kalangan komunis.
Kubu PKI, yang merasa diserang, tidak tinggal diam. Elite PKI, DN Aidit, membalas pernyataan Jusuf Wibisono dalam sidang parlemen pada tanggal 14 Desember 1954.
Ada dua poin yang disampaikan oleh Aidit dalam menjawab pernyataan-pernyataan Jusuf Wibisono yang mengutip Lenin. Pertama, menegaskan bahwa kaum komunis tidak memusuhi orang-orang jujur. Kedua, mempertanyakan kesahihan sumber yang digunakan Jusuf Wibisono untuk menyerang kubu komunis.
Aidit menuding Jusuf telah memutarbalaikkan fakta. Dia mengatakan bahwa karangan Lenin seluruhnya berjumlah 18.000 halaman. Sehingga, menurut Aidit, tidak mungkin untuk memeriksa seluruh tulisan Lenin guna membuktikan kesahihan pernyataan politikus Masyumi itu.
“Tentu tidak mungkin saja memeriksa seluruh tulisan Lenin hanya untuk membuktikan bagaimana pemutarbalikan fakta jang dilakukan oleh anggota jang terhormat Jusuf,” celetuk Aidit.
Jusuf Wibisono kemudian berbalik merespons. Ia menjawab pertanyaan Aidit tentang referensi ajaran Lenin yang menggambarkan kaum komunis tidak bermoral dan beretika.
Politikus Partai Masyumi itu mengatakan bahwa refensi yang dia pakai adalah buku yang ditulis oleh seorang politikus Rusia bernama David J Dallin. Judul bukunya The Big Three. Dallin tinggal di Amerika Serikat setelah melarikan diri dari rezim komunis di Uni Soviet. Dengan kata lain, Jusuf Wibisono, sebenarnya tidak merujuk satupun referensi yang ditulis langsung oleh Lenin, tetapi justru buku yang ditulis oleh pelarian politik.
Sontak, penjelasan Jusuf memantik reaksi dari peserta sidang. Hampir semua peserta yang hadir, tulis Harian Rakjat, menanggapi pernyataan Jusuf Wibisono dengan ketawa sambil berseloroh: Ooo.... pelarian!!