Bisnis.com, JAKARTA -- Sejarah mencatat sosok Amir Sjarifuddin dalam banyak rupa. Dia dicap sebagai komunis karena aksi petualangannya dalam Peristiwa Madiun 1948. Sisi lainnya, Amir Sjarifuddin dikenal sebagai seorang Kristen yang taat dan salah satu tokoh penting di Partai Sosialis.
Partai Sosialis memiliki pengaruh cukup penting pada awal republik. Sayangnya, partai ini pecah karena konflik internal antara loyalis Amir dan Sjahrir. Sjahrir kemudian membentuk sebuah partai baru bernama Partai Sosialis Indonesia (PSI).
PSI dalam tulisan ini bukan merujuk ke Partai Solidaritas Indonesia yang baru-baru ini mengangkat putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep, sebagai ketua umum hanya 2 hari setelah resmi menjadi kader. PSI di sini adalah, Partai Sosialis Indonesia, yang penuh dengan dinamika intelektual. Tidak instan. Tokoh-tokohnya memiliki peran penting baik dalam sejarah pergerakan maupun sejarah politik Indonesia pasca kolonial.
Sebut saja Sutan Sjahrir yang oleh Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto disama-samakan dengan putra sulung Jokowi yakni Gibran Rakabuming Raka. Kemudian ada ayah Prabowo Subianto, Soemitro Djojohadikoesoemo, intelektual dan sering disebut sebagai begawan ekonomi Indonesia. Ada juga sosok diplomat dan intelektual yakni Soedjatmoko.
Sementara itu, Amir Sjarifuddin adalah cerita lain. Dia adalah faksi sosialis yang lebih condong ke kaum kiri. Kedekatannya dengan kaum kiri kelak membuat namanya 'rusak' dan dicap pengkhianat dalam sejarah. Sepak terjangnya selama pergerakan seolah terhapus karena terlibat dalam Madiun 1948.
Padahal Amir sebelum peristiwa Madiun 1948 pecah adalah tokoh penting dalam pemerintahan republik. Dia pernah menjadi Menteri Pertahanan (Menhan) dan Perdana Menteri Indonesia pada 1947-1948. Amir Sjarifuddin lengser dari jabatan perdana menteri usai Perjanjian Renville yang banyak dikritik oleh lawan politiknya, terutama Masyumi dan PNI.
Jurnalis senior Rosihan Anwar, dalam buku Sejarah Kecil 'Petite Histoire' Indonesia menulis momen-momen lengsernya Amir dari gegap gempita politik pada waktu itu. Dia menyatakan bahwa penolakan Masyumi dan PNI terhadap Renville telah memicu krisis politik. Bung Amir, demikian dia memanggil Amir Syarifuddin, kemudian mengembalikan mandatnya. Amir diganti oleh Mohammad Hatta.
"Sejak itu, Bung Amir hilang dari radar pengamanan saya," tulis Rosihan.
Mundurnya Amir dan naiknya Hatta sebagai kepala pemerintahan republik yang masih muda menimbulkan ketegangan politik. Partai Sosialis yang dia pimpin kemudian bergabung dalam sebuah aliansi 'oposisi' bersama PKI, PBI, Pesindo dan SOBSI. Aliansi politik 'sayap kiri' itu kemudian menamakan diri sebagai Front Demokrasi Rakyat alias FDR.
Sebelum munculnya FDR, internal Partai Sosialis pecah menjadi dua faksi. Faksi Amir dengan faksi pendukung Sutan Sjahrir. Faksi Sjahrir keluar dari barisan Partai Sosialis. Sjahrir kemudian mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI), partai yang kemudian sangat kritis terhadap kubu komunis dan kebijakan-kebijakan pemerintahan Soekarno.
Keberadaan tokoh Amir Sjarifuddin di kelompok FDR atau Sayap Kiri menjadikan pertarungan politik semakin memanas. Di sisi lain, kebijakan 'rasionalisasi' yang digembar-gemborkan oleh kabinet Hatta, juga memicu ketidakpuasan dari organisasi bersenjata yang tidak masuk sebagai anggota militer resmi Republik Indonesia.
Sejarawan Harry A Poeze dalam buku Madiun 1948: PKI Bergerak menggambarkan bahwa FDR dengan cepat memperoleh popularitas. FDR bahkan tampil sebagai 'penyambung lidah' bagi banyak organisasi bersenjata. Strategi itu membuat FDR seolah sedang bermain api. Konflik politik semakin memanas karena gesekan-gesekan bersenjata di Kota Solo.
Puncak dari kekisruhan politik pada waktu itu adalah bentrokan bersenjata antara FDR dengan pasukan republik. Gesekan bersenjata bermula di Kota Solo. Salah satu pemimpin militer AH Nasution pernah menyebut bahwa Solo seperti tanah tak bertuan alias 'Wild West'. Aksi culik menculik terjadi antara pasukan Panembahan Senopati dengan pasukan Siliwangi.
Bentrokan bersenjata kemudian meluas. Madiun berhasil dikuasai oleh kubu sayap kiri (FDR). Namun keberhasilan itu hanya berusia seumur jagung. Republik di bawah kendali Soekarno-Hatta melakukan konsolidasi militer. Pasukan Siliwangi mendapatkan perintah untuk merebut Madiun. Madiun dikepung. Pertempuran sengit terjadi di beberapa wilayah di sekitarnya. Pasukan republik berhasil mengusir PKI dan menduduki kembali Madiun.
Sementara itu para pemimpin FDR, terutama Amir dan Muso, melarikan diri. Mereka mengadakan longmarsh untuk menghindari kejaran tentara Republik. Muso tewas dalam sebuah pertempuran kecil. Sedangkan, Bung Amir, ditangkap pada 29 November 1948. Poeze menulis bahwa saat ditangkap, Amir hanya mengenakan piyama, sarung dan tidak lagi bersepatu.
Amir berambut gondrong. Kacamata-nya masih bagus. Tetapi pipa cangklong-nya yang fenomenal telah hilang. "Ia berjalan pincang, kelihatan kurus dan pucat, akibat disentri yang sudah 5 hari dideritanya."
Amir Komunis?
Keterlibatan Amir dalam Madiun 1948 memicu perdebatan. Apakah Amir adalah seorang komunis atau bukan? George McTurnan Kahin, dalam buku Nationalism and Revolution in Indonesia menulis bahwa Amir tampaknya menjadi oposisi dan berada di barisan kiri karena kecewa terhadap Amerika Serikat. Amir merasa ditinggal AS usai Renville.
Sementara itu, Rosihan Anwar pernah mengutarakan pertanyaan soal sosok Amir Sjarifuddin kepada Sutan Sjahrir. "Apakah Bung Amir komunis?,' tanya Rosihan.
Sjahrir pada waktu itu hanya menjawab singkat. "Tidak."
Di sisi lain, Rosihan juga mencatat bahwa Abu Hanifah, yang kemudian dikenal sebagai tokoh Masyumi, mengenal Amir sebagai seorang seniman.
Amir, tulis Rosihan menirukan pernyataan Abu Hanifah, juga sangat tekun mempelajari Injil. Soal Injil dan Amir juga menjadi buah bibir di kalangan sejarawan. Ada sebuah kisah bahwa sebelum dieksekusi mati, Amir telah meminta Injil. Tetapi kabar ini banyak diragukan.
Kisah paling tragis terjadi ketika eksekusi Amir Sjarifuddin. Harry Poeze menyitir tulisan dari Soe Hok Gie, yang menulis detik-detik Amir dan 10 tahanan politik lainnya sebelum dieksekusi. Amir suatu kali menyambangi tentara yang bertugas mengeksekusinya.
"Berilah kami waktu untuk bernyanyi sebentar," ucap Amir.
''Boleh tapi cepat!", sergah sang tentara.
Amir dan 10 tahanan lainnya menulis surat. Surat itu kemudian diserahkan kepada tentara. Amir dan koleganya menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale. Setelah selesai menyelesaikan lagu Amir berseru: bersatulah kaum buruh di dunia! Aku mati untukmu!
Saat itulah kesebelas orang tokoh Madiun 1948 tewas dieksekusi. Narasi resmi pemerintah mencap mereka, termasuk Amir, sebagai pegkhianat.
Kendati demikian, Rosihan Anwar menulis bahwa terlepas dari banyak tafsiran soal siapa sosok Amir Sjarifuddin Harahap sebenarnya. Bagi dia, yang masih menjadi wartawan muda pada zaman revolusi, Amir adalah seorang nasionalis dan idealis, tetapi juga tragis.