Bisnis.com, JAKARTA - Ikatan koalisi partai politik (parpol) pendukung calon presiden (capres) kian cair setelah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) akan mengevaluasi keberadaannya di Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) pada mukernas mendatang, sementara PKS mengaku didekati Partai Golkar.
Menariknya, meskipun PKS didekati Partai Golkar, partai berbasis massa pemilih kalangan Isam itu masih mematangkan komunikasi dengan NasDem dan Partai Demokrat.
“Ya, ini tawar menawar karena persoalan di sana. Kalau satu partai mangkat, keluar maka akan berat dengan yang lain, sehingga tiap partai di sini punya posisi yang kuat. Karena itu, setiap partai belum bisa menyatakan buru-buru untuk bergabung dengan partai A, B selama belum jelas keuntungan politik yang mereka dapatkan dari koalisi itu,“ ujar pengamat politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti, Jumat (30/9/2022).
Dikatakan, selama kalkulasinya belum pas, maka proses tawar menawar akan jalan terus, termasuk gertakan untuk keluar dari koalisi sebagai dinamika yang cukup menarik.
Diberitakan sebelumnya, keberadaan PPP di KIB dipertanyakan ketika partai itu memiliki ketua umum baru, Mardiono. Dia sebelumnya mengatakan bahwa PPP masih akan berada di KIB.
Hanya saja, Wakil Ketua Umum PPP, Asrul Sani mengisyaratkan nasib PPP di KIB akan diputuskan dalam mukernas.
Baca Juga
“Koalisi, tidak ada yang pasti. Baru pasti kalau sudah ke KPU. Sekarang, mau pakai salam-salaman, hitam di atas putih, itu masih bisa cair, kalau partai-partai ini belum mendapatkan keuntungan yang signifikan dari bentuk koalisi-koalisi mereka,” ujar Ray.
Selain itu itu, kemungkinan PKS untuk berkoalisi dengan Partai Golkar maupun lainnya tergantung Anies Baswedan.
"Isu utama politik PKS itu adalah Anies. Kalau Anies dengan PDIP, NasDem, Demokrat, siapa saja, PKS pasti akan ikut,” ungkap Ray.
Wakil Sekretaris Jenderal PKS Ahmad Fathul Bari mengungkap, PKS memang tengah menjalin komunikasi intensif dengan Demokrat dan NasDem.
Koalisi itu untuk bisa mengusung bakal capres dan calon wakil presiden (cawapres) yang memiliki karakter nasionalis-religius dan berpeluang besar untuk menang di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
"Dengan hasil keputusan tersebut, PKS sudah lebih intensif melakukan komunikasi politik, antara lain dengan NasDem dan Demokrat, dengan melihat tokoh-tokoh potensial yang mendekati dengan kriteria tersebut," katanya.
Meski demikian, PKS tidak menutup komunikasi politik dengan partai lain. PKS berpegang pada hasil Musyawarah Majelis Syuro (MMS) VII PKS dalam menentukan arah koalisi.
"Tetapi komunikasi dengan parpol lain juga tetap berjalan, selama konfigurasi koalisi dapat memenuhi syarat serta tokoh yang akan diusung mendekati dengan kriteria yang diputuskan oleh MMS VII PKS," tegasnya.
PPP Dilema
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Khoirul Umam menilai, PPP berada dalam dilema.
Menurutnya, PPP lebih cocok bergabung dengan koalisi NasDem, Demokrat, dan PKS. Hal itu didasarkan pada sejumlah hal, terutama soal kemungkinan capres yang bakal diusung Anies Baswedan.
"PPP akan menghadapi dilema besar. Di satu sisi, PPP akan lebih cocok untuk bergabung dengan koalisi NasDem, Demokrat, dan PKS yang kabarnya akan mengusung Anies sebagai capres," terangnya.
Saat PPP mengusung Anies dalam Pilpres 2024, risiko keterpecahan pada basis elektoral relatif bisa dimitigasi. Karena Anies diidentikkan dengan kekuatan politik Islam.
"Dengan ikut mengusung Anies, PPP tidak akan mengalami split ticket voting dan lebih mudah mengonsolidasikan basis pemilih loyalnya, mengingat Anies cukup identik dengan representasi kekuatan politik Islam," tuturnya.
Meski demikian, ada kemungkinan PPP akan merapat ke PDIP yang tengah membutuhkan legitimasi kekuatan politik Islam moderat untuk bertarung di Pilpres 2024. Kemungkinan itu juga didukung sejumlah hal, yakni kondisi PKB dan PAN.
Dalam konteksi itulah sebenarnya kekuatan koalisi kini semakain cair dan longgar karena masih jauh dari ikatan yang kuat untuk mengusung calon presiden pada Pilpres 2024.