Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ambisi Prabowo Mempermanenkan Koalisi

Ide Presiden Prabowo membentuk koalisi permanen tidak hanya berisiko, tetapi juga bisa menjadi tantangan bagi demokrasi yang sudah berjalan sejak reformasi.
Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di acara silaturahmi Koalisi Indonesia Maju (KIM) di kediamannya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (14/2/2025)./Bisnis-Akbar Evandio
Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di acara silaturahmi Koalisi Indonesia Maju (KIM) di kediamannya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (14/2/2025)./Bisnis-Akbar Evandio

Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto menggulirkan wacana pembentukan koalisi permanen. Koalisi ini akan melibatkan partai-partai politik anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM), baik yang memiliki kursi di parlemen maupun non parlemen.

Ide Prabowo itu disampaikan ketika menggelar silaturahmi dengan pemimpin dan petinggi partai politik anggota KIM di Hambalang pada Jumat (14/2/2025).

KIM adalah gabungan parpol pemilik kursi di parlemen yakni Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Total kursi yang mereka kuasai hampir 70% dari total 580 kursi di DPR.

Jumlah itu belum termasuk dukungan dari Partai Nasdem yang mempunyai 69 kursi di DPR. Meski tidak memiliki anggota di Kabinet Merah Putih, Nasdem telah secara terbuka mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Artinya jika melibatkan semua komponen parpol di DPR, KIM menjadi penguasa mayoritas di DPR hingga 81% kursi parlemen.

Presiden Prabowo Subianto
Presiden Prabowo Subianto

Angka itu pun belum memperhitungkan dukungan parpol di luar parlemen seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Gelora, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Prima, Partai Perindo, dan Partai Garuda. Beberapa di antara partai non parlemen itu, memiliki kursi di tingkat DPRD.

Kekuatan KIM tidak sebatas di kursi legislatif, di tingkat politik lokal, calon kepala daerah partai-partai yang tergabung dalam koalisi tersebut juga berhasil mendominasi daerah lumbung suara pada Pilkada 2024 lalu.

Provinsi seperti Jawa Barat, Jawa  Timur, Jawa Tengah, Sumatra Utara, hingga Banten yang memiliki populasi pemilih dalam jumlah besar di setiap agenda politik pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tingkat provinsi pada 2024, disapu bersih oleh calon-calon yang diusung oleh KIM.

Satu-satunya parpol parlemen yang tidak menjadi bagian dari KIM hanyalah PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri. PDIP belum menyatakan dukungan kepada Prabowo-Gibran, kendati mereka juga tidak secara tegas menyatakan sikap sebagai oposisi pemerintah.

Malahan, dalam puncak peringatan HUT ke-17 Partai Gerindra yang berlangsung Sentul, Bogor, Jawa Barat, politikus PDIP Said Abdullah dengan terbuka menyatakan bahwa PDIP turut mendukung pemerintahan Presiden Prabowo

Lantas, seperti apa ide koalisi permanen yang ingin dibentuk oleh Presiden Prabowo?

Perjalanan Koalisi Sejak Era Reformasi

Indonesia mengalami fase koalisi politik yang menarik sejak era reformasi atau memasuki Pemilihan Umum (Pemilu) 1999.

Dalam tataran pemilihan presiden yang kala itu masih dilakukan melalui mekanisme suara terbanyak di MPR/DPR, PDIP yang memenangi Pemilu 1999 gagal meraih kursi Presiden setelah adanya manuver elite parpol di parlemen.

Pada 1999, PDIP menguasai DPR dengan jumlah 154 kursi, disusul Golkar 120 kursi, PPP (59), PKB (51), PAN (35), dan PBB (13). Sementara itu, 13 parpol mempunyai kursi kurang dari 10 dengan total yang dimiliki sebanyak 30 kursi.

Megawati Soekarnoputri yang menjadi Ketua Umum PDIP kalah dalam pemungutan suara—meski memiliki jumlah kursi terbanyak di DPR— dari Abdurrahman Wahid yang didukung oleh poros tengah beranggotakan gabungan parpol pemilik kursi menengah kecil di DPR seperti PKB, PAN, PBB, dan lain sebagainya.

Megawati Soekarnoputri
Megawati Soekarnoputri

Dalam perjalanannya setelah Presiden Gus Dur menjadi Presiden didampingi Megawati sebagai wakil presiden, logisnya koalisi menjadi kuat karena PDIP dan partai-partai lainnya berada dalam pemerintahan. Faktanya, koalisi besar tersebut justru tidak sepenuhnya solid. 

Lewat jalan di DPR pula, lahir gerakan untuk menurunkan Presiden Gus Dur dan mengangkat Megawati sebagai Presiden. Dengan kata lain, membangun sinergi dan koalisi di kabinet, belum tentu sejalan di parlemen.

Demikian halnya ketika Indonesia untuk pertama kalinya mengadopsi pemilihan secara langsung untuk kursi kepresidenan pada 2004. 

Terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak berasal dari parpol pemenang Pemilu, terlihat sangat kerepotan menghadapi manuver DPR meski koalisi pemerintahannya dominan dan hanya menyisakan PDIP di luar kabinet.

Bahkan saat periode kedua Presiden SBY (2009—2014), tercetus untuk membentuk Sekretariat Gabungan dari parpol koalisi pemerintah. Tujuan keberadaan Setgab untuk menyinkronkan kebijakan kabinet dengan arah di DPR.

Nyatanya, DPR sangat buas di era kedua Presiden SBY. Hal itu tak lepas dari kuatnya peran DPR pasca-amendemen UUD 1945 yang menempatkan otoritas parlemen menjadi lembaga yang sangat kuat.

Peristiwa serupa juga dialami Presiden Joko Widodo yang terpilih di Pemilu 2014. Datang dari kalangan non-elite parpol, Presiden Jokowi pontang-panting dalam 2 tahun awal pemerintahannya karena kalah koalisi di parlemen. Alhasil, banyak agenda dan program Presiden Jokowi mentok di DPR.

Presiden Prabowo dan Presiden ke 7 Joko Widodo (Jokowi)
Presiden Prabowo dan Presiden ke 7 Joko Widodo (Jokowi)

Presiden Jokowi mesti melakukan manuver dan pendekatan untuk menarik parpol masuk ke Kabinet Kerja yang dipimpinnya bersama Jusuf Kalla. Pada periode 2014—2019, Presiden Jokowi sukses menarik Golkar dan PAN untuk bergabung. 

Sebuah situasi yang membuat koalisi pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres JK cukup kuat, baik di kabinet maupun parlemen. Presiden Jokowi juga mulai terlihat lebih leluasa menjalankan program pembangunan, meski ada menterinya yang ditolak untuk menghadiri rapat-rapat di DPR sepanjang periode pertama pemerintahannya.

Dalam perjalanan menuju Pilpres 2019, koalisi Presiden Jokowi tidak utuh menyusul keputusan PAN yang mundur dari koalisi dan memilih bergabung ke kubu Prabowo Subianto.

Akan tetapi, setelah memastikan kemenangannya di Pilpres 2019 dan berhasil merayu Prabowo bergabung di pemerintahan Kabinet Indonesia Maju, koalisi Jokowi di periode 2019—2024 menjadi sangat kuat dan dominan.

Bahkan jelang akhir pemerintahan, koalisinya makin kokoh setelah Partai Demokrat bergabung di pemerintahan. Praktis, lebih dari 90% kursi di DPR mendukung Presiden Jokowi, menyisakan PKS di luar gerbong pemerintahan.

Bangunan koalisi di ujung pemerintahan Presiden Jokowi ini pula yang kemudian dipertahankan dan  menyemai lahirnya KIM pimpinan Presiden Prabowo pada periode 2024—2029. Jika dilihat dalam 4 bulan awal pemerintahan, koalisi Prabowo ini sangat kuat, termasuk di parlemen.

Sebelum Presiden Prabowo menggulirkan wacana koalisi permanen, sejatinya sempat muncul ide pembentukan model koalisi permanen oleh founder PSI Jeffrie Geovanie.

Beberapa pekan setelah Pemilu 2024 usai pada Februari 2024, Jeffrie sempat melakukan roadshow ke sejumlah acara siniar menggulirkan ide semacam perlunya pembentukan Barisan Nasional di pemerintahan Presiden Prabowo, dari level pusat hingga daerah.

Model itu diyakini Jeffrie akan memudahkan kerja-kerja pengambilan kebijakan dari pusat hingga daerah karena pemerintahan di pusat dan daerah memiliki kesamaan visi.

Mengutip artikel berjudul Koalisi Partai Politik Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Indonesia, model koalisi permanen sejatinya telah banyak diterapkan oleh sejumlah negara.

Contohnya, Koalisi Barisan Nasional antara partai-partai di Malaysia dan koalisi partai politik yang terjadi di negara Jepang. 

Koalisi di negara-negara itu mampu membentuk pemerintahan yang kuat dan stabil. 

Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa pengaturan koalisi tidak sekadar berdasarkan komitmen antara partai saja. Dibutuhkan regulasi untuk mengatur keberadaan koalisi permanen karena keberadaanya diyakini dapat membawa efektivitas dalam pemerintahan. 

Belajar dari pengalaman berdemokrasi di Indonesia selama kurang lebih 20 tahun terakhir, mestinya memang perlu dipikirkan model konsolidasi sistem politik, tata negara, dan pemerintahan daerah, untuk menciptakan pemerintahan yang kuat. Artinya bahwa koalisi permanen bukan hanya berlaku di level pusat melainkan di semua daerah di Indonesia guna menjamin kesinambungan.

“Pengaturan pelembagaan koalisi tersebut sangat penting untuk menjaga agar partai koalisi pendukung pemerintah konsisten untuk mendukung jalannya pemerintahan agar tercipta stabilitas pemerintahan dan untuk menghindari peran ganda di antara partai koalisi yang sewaktu waktu bisa menyerang kebijakan pemerintahan yang dianggap tidak sesuai.”

Prabowo dan Pesaing Politiknya

Prabowo Subianto dapat dikatakan sebagai tokoh terkuat dalam blantika politik di Tanah Air saat ini. Namanya jauh meninggalkan pesaing politiknya di Pemilu 2024 seperti Anies Baswedan maupun Ganjar Pranowo.

Survei Indikator Politik Indonesia pada Januari  2025 mencatat tingkat kepuasan masyarakat atas kinerja Presiden Prabowo mencapai 79,3%, gabungan dari jawaban publik yang puas sebanyak 65,8% dan sangat puas 13,5%.

Nama Prabowo juga berada di deretan teratas kandidat presiden dari simulasi 19 nama dengan elektabilitas 68,9%.

Sementara itu, Anies Baswedan memiliki elektabilitas hanya 6,8%, Ganjar Pranowo (5,9%), Gibran Rakabuming Raka (3,8%), Agus Harimurti Yudhoyono (3,1%), dan Erick Thohir (1,3%).

Hasil survei tersebut terlihat masih wajar mengingat Prabowo baru memimpin Indonesia kurang lebih selama 4 bulan. 

Akan tetapi, membaca dinamika di tengah-tengah perayaaan HUT ke-17 Partai Gerindra pada pertengahan Februari lalu, indikasi Prabowo hendak diusung oleh parpol KIM sebagai calon presiden di Pemilu 2029 mulai muncul.
Setidaknya, Partai Golkar yang sejak awal sudah menyatakan kesiapannya mendukung Prabowo sebagai capres di Pilpres 2029.

Bila berkaca dari tradisi semenjak Pilpres secara langsung digelar, peluang Presiden petahana untuk kembali terpilih dalam pemilu berikutnya sangat terbuka. Apalagi jika ambisi Prabowo untuk menjadikan KIM sebagai koalisi permanen dapat terwujud, mudah bagi dirinya untuk meraih tiket menuju pilpres berikutnya.

Problemnya, jika koalisi permanen terwujud, sulit rasanya untuk menyajikan kontestasi pemilu yang demokratis dan terbuka. Tentu ini menjadi tantangan yang mesti dipikirkan dalam desain pemilu ke depan.

Atau pilihannya, melupakan gagasan koalisi permanen. Model koalisi tetap berjalan parsial. Berpisah jelang pemilu, lantas bergabung lagi seusai pemilu dengan membangun koalisi baru. Demikian terus menerus hingga sasaran pembangunan dan kemajuan bangsa dapat terwuju


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper