Bisnis.com, JAKARTA -- Hubungan antara Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah lama tidak akur. Semuanya bermula dari tahun 2003 hingga 2004 silam, ketika SBY maju sebagai calon presiden melawan Megawati, yang waktu itu adalah atasannya sendiri di pemerintahan.
Sejak saat itu hubungan keduanya renggang. Bahkan sampai sekarang. Buktinya dapat dilihat dari relasi antara PDI Perjuangan (PDIP) dengan Partai Demokrat yang saat ini seperti minyak dan air. Susah untuk duduk bareng dalam satu meja.
Terlepas dari hubungan antara keduanya. Baik Megawati dan SBY memiliki banyak sepak terjang yang cukup mumpuni dalam politik nasional.
Megawati berhasil mengawal transisi dari sisa-sisa otoritarianisme Orde Baru menuju rezim demokrasi. Pemilu 2004 yang salah satu agendanya adalah memilih presiden secara langsung adalah torehan paling positif dalam pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
Sementara itu, SBY adalah presiden pertama yang terpilih dari sistem pemilihan langsung era Megawati. Pemerintahan SBY yang berlangsung selama 10 tahun bisa dibilang sebagai tonggak bagi pembangunan Indonesia ke depan. Hasilnya seperti saat ini, ketika demokratisasi sudah berjalan dan fondasi ekonomi mulai kuat, upaya untuk menggenjot pembangunan mulai digalakkan.
Namun demikian ada cerita unik tentang sikap kedua pemimpin terhadap Amerika Serikat. AS adalah salah satu negara yang mendominasi politik global pada waktu itu. Sikap AS sangat berpengaruh terhadap stabilitas politik di suatu negara. Termasuk Indonesia.
Baca Juga
SBY dan Megawati pun memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat relasinya dengan AS. Megawati tetap berusaha menjaga hubungan baik dengan AS. Namun pengalaman selama Orde Baru, membuat dirinya tidak serta merta menggantungkan Indonesia sepenuhnya kepada AS.
Pada masa Megawati ada beberapa peristiwa yang cukup penting mengenai pasang surut hubungan antara Indonesia dan AS. Pertama, Megawati pernah menolak permintaan Presiden AS George Bush untuk mendukung invasi AS ke Irak. Salah satu agenda invasi AS adalah menggulingkan Saddam Husain.
Dikutip dari Tempo (2003), salah satu bukti penolakan pemerintahan Megawati terhadap invasi Irak terungkap dari pernyataan Wakil Presiden, Hamzah Haz.
Pemerintahan Megawati dan Hamzah Haz pada waktu itu bahkan meminta AS membatalkan rencana serangannya ke Irak kembali disuarakan pemerintah Indonesia. Indonesia tetap menolak serangan itu dan minta penyelesaiannya diserahkan kepada PBB, kata Wakil Presiden Hamzah Haz sebelum mengikuti rapat terbatas di Istana Negara, Jakarta, Senin (17/3/2003).
Hamzah mengatakan, sikap pemerintah tetap pada apa yang dinyatakan Presiden Megawati saat hadir dalam KTT Non Blok di Malaysia beberapa waktu lalu. Pada saat itu, lanjut dia, Presiden sudah menyatakan bahwa perang itu tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan. Wapres menambahkan dampaknya juga tidak dirasakan oleh rakyat Irak saja tapi juga oleh seluruh dunia.
Selain Perang Irak, pemerintahan Megawati juga berani melawan AS dengan membeli alutsista non NATO atau Barat. Salah satunya adalah ketika TNI AU mengakuisisi pesawat Shukoi yang notabene buatan Rusia, rival tradisional AS.
Indonesia trauma dengan AS. Apalagi setelah militer di embargo akibat peristiwa pembantaian Santa Cruz di Timor Leste. Hal ini mengakibatkan kemampuan militer Indonesia menurun cukup drastis. Pasalnya, sejak Orde Baru berkuasa, mayoritas alutsista Indonesia buatan negara Barat, embargo membuat sistem persenjataan Indonesia ompong.
Bagaimana dengan SBY?
Ada banyak pendapat mengenai hubungan antara SBY dengan Amerika Serikat. Yang jelas SBY tercatat sering mengunjungi AS bahkan hingga saat ini. SBY adalah kebalikannya Megawati.
Banyak kalangan menyebut SBY sangat Amerika, ini terbukti dari penamaan Partai Demokrat, dan model konvensi yang pernah dilakukan untuk Pilpres 2024 silam.
Kedekatan antara SBY dan Amerika Serikat itu sudah menjadi rahasia umum. Pada tahun 2006 misalnya, SBY bertemu dengan Presiden George Bush. George Bush notabene adalah presiden yang meminta dukungan untuk Perang Irak ke Megawati Soekarnoputri, namun hal itu ditolak.
SBY juga pernah mendapatkan penghargaan World Statesman Award dari organisasi spiritual berbasis di New York Appeal of Conscience Foundation pada Jumat 31 Mei 2013, di Hotel Pierre, New York, Amerika Serikat.
Penghargaan, seperti dikutip dari Tempo, diserahkan langsung oleh Rabbi Arthur Schneier dan disaksikan mantan Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger.
Saat menerima penghargaan itu, SBY mengakui kondisi kerukunan beragama di Indonesia belum ideal. "Kami masih menghadapi sejumlah tantangan; kantung-kantung intoleransi tetap ada, konflik komunal terkadang masih mudah tersulut," katanya prihatin.
SBY juga menjelaskan bahwa sensitivitas keagamaan kadangkala menimbulkan perselisihan ketika ada kelompok masyarakat mengambil tindakan secara sepihak. "Riak radikalisme juga masih tetap ada," katanya.
Karena itulah, SBY menyadari masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai di Indonesia. "Ke depan, kami tidak akan mentolerir setiap bentuk kekerasan yang dilakukan oleh kelompok manapun dengan mengatasnamakan agama," katanya.
Terlepas dari kedekatan hubungan antara SBY dengan Amerika Serikat, SBY sejatinya tetap melaksanakan kunjungan ke beberapa negara non Amerika. Dia pernah ke Rusia, China dan sejumlah negara lainnya. Kendati intensi-nya tak sekuat dengan AS.
SBY, kalau mengutip pernyataan politikus NasDem Zulfan Lindan yang tersebar di media sosial maupun media daring, adalah 'Golden Boy' Amerika, meskipun kabar ini langsung dibantah anaknya, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas. "SBY adalah golden boy Indonesia."