Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengapa Banyak Warga RI Dukung Invasi Rusia ke Ukraina? Ini Kata Peneliti

Tidak seperti publik di Barat yang mengutuk serangan Rusia ke Ukraina, warganet Indonesia banyak yang bersimpati dengan Rusia.
Tank-tank Ukraina masuk ke kota,setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengizinkan operasi militer di Ukraina timur, di Mariupol, Ukraina, Kamis (24/2/2022).REUTERS/Carlos Barria
Tank-tank Ukraina masuk ke kota,setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengizinkan operasi militer di Ukraina timur, di Mariupol, Ukraina, Kamis (24/2/2022).REUTERS/Carlos Barria

Bisnis.com, JAKARTA - Tidak seperti publik di Barat yang mengutuk serangan Rusia ke Ukraina, warganet Indonesia banyak yang bersimpati dengan Rusia. Menanggapi fenomena itu, peneliti dari Johan Sytte Institute of Political Studies, Universitas Tartu, Estonia, Radityo Dharmaputra mengatakan ada beberapa alasan publik cenderung mendukung Rusia dalam kasus ini.

“Yang pertama adalah sikap anti-Amerika dan anti-Barat yang kuat di masyarakat. Anti-Amerikanisme ini sebelumnya telah diamati dalam sikap Indonesia terhadap “perang melawan teror” AS, yang dengan sendirinya merupakan pendorong utama sentimen anti-Amerika,” ujar dia lewat esainya di situs Indonesiaatmelbourne, dikutip Rabu (9/3/2022).

Menurut dia, dalam diskursus Indonesia tentang perang Rusia dan Ukraina telah berfokus pada kemunafikan Amerika dan Barat. Salah satunya menyoroti banyak yang membandingkan keengganan barat untuk mendukung Palestina dengan kecepatan di mana dukungan mengalir ke Ukraina.

“Oleh karena itu, masalahnya lebih pada penghinaan terhadap barat daripada dukungan sepenuh hati untuk tindakan Rusia. Sentimen ini telah diperburuk oleh para sarjana Indonesia yang telah memilih untuk menggambarkan konflik sebagai tanggapan terhadap ekspansi NATO ke dalam lingkup pengaruh Rusia, daripada memeriksa konteks sejarah dan budaya yang lebih dalam,” jelas dia yang juga mengajar di Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga itu.

“Ini mirip dengan sikap di China, di mana Rusia dipandang sebagai kekuatan revisionis yang berjuang melawan barat yang munafik.”

Lebih lanjut, Radityo mengungkap faktor penting lainnya yang mempengaruhi tanggapan Indonesia terhadap konflik adalah preferensi publik untuk pemimpin yang “kuat”. Seperti yang ditunjukkan oleh popularitas Prabowo Subianto pada pemilu 2014 dan 2019, publik Indonesia sangat responsif terhadap retorika tentang kepemimpinan nasionalis dan populis.

“Presiden Rusia Vladimir Putin telah lama digambarkan sebagai pemimpin yang hipermaskulin, kuat, dan tegas. Pada 2018, misalnya, politisi Gerindra Fadli Zon berpendapat bahwa Indonesia membutuhkan ‘pemimpin yang kuat, berani, visioner, cerdas, dan berwibawa seperti Putin’,” ungkapnya.

Dia mengatakan, Putin sudah populer di Indonesia sebelum serangan ke Ukraina, sehingga banyak orang Indonesia cenderung menerima narasinya tentang konflik tanpa banyak pertanyaan.

“Memang, di media Indonesia dan di kalangan publik, Putin telah digambarkan sebagai mantan pejabat intelijen yang cerdas dan berpengalaman, sementara Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah direduksi menjadi karikatur, mengingat kehidupan masa lalunya sebagai komedian,” ujarnya.

Faktor ketiga, lanjut Radityo, yang dapat membantu menjelaskan pandangan pro-Rusia di kalangan masyarakat Indonesia adalah agama. Ini mungkin tampak berlawanan dengan intuisi, mengingat masa lalu komunis Rusia, dan persepsi dominan di Indonesia bahwa komunisme adalah anti-Islam.

“Invasi Soviet ke Afghanistan pada 1970-an dan perang Chechnya pada 1990-an hanya memperkuat pandangan ini. Dan baru-baru ini pada tahun 2015, serangan militer Rusia di Suriah memicu demonstrasi besar-besaran di Indonesia,” kata dia.

Namun, Radityo mengungkapkan bahwa beberapa tahun terakhir, bagaimanapun, telah melihat upaya bersama untuk menggambarkan Rusia sebagai teman dan sekutu Islam. Pekan lalu, misalnya, saluran YouTube populer menggambarkan Rusia sebagai orang-orang "Rum" yang dijelaskan dalam Al-Qur'an, orang-orang yang mengikuti agama Kristen tetapi menyejajarkan diri dengan Islam di akhir zaman. Narasi ini semakin lumrah dalam masyarakat Islam di Indonesia, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang potensi konflik Rusia-Ukraina untuk memulai Perang Dunia III.

"Ada persepsi Putin itu lebih pro-Islam ketimbang AS, meski generasi lebih tua masih ingat bagaimana Rusia menyerang Chechnya dan Uni Soviet di Afghanistan," kata Radityo.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Indra Gunawan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper