Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelisik ihwal arahan khusus Bupati Musi Banyuasin nonaktif Dodi Reza Alex Noerdin dalam pelaksanaan proyek di Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan.
Hal tersebut digali saat KPK memeriksa sejumlah saksi antara lain Lupi selaku Kepala Sub Bagian Perencanaan Evaluasi dan Pelaporan Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin, Suhari selaku Kepala Sub Bagian Keuangan dan Aset Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin, seta Ade Irawan selaku Bendahara Pengeluaran Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin.
Selanjutnya, Rudianto selaku Sekretaris Badan Diklat Kepegawaian Daerah Pemkab Musi Banyuasin, Deni Sapatra, Staf Bagian Kepegawaian Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin, Kepala Seksi Preservasi Jalan dan Jembatan Wilayah II Bidang Preservasi Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Apriansyah, serta Adijayanegara Sediyatma selaku Kasi Pengawasan dan Evaluasi Bidang Pembangunan Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin.
"Para saksi hadir dan dikonfirmasi antara lain terkait dengan berbagai proyek yang dilaksanakan di Pemkab Musi Banyuasin dan dugaan adanya arahan khusus dari tersangka DRA (Dodi Reza Alex Noerdin) melalui tersangka HM (Herman Mayori) dan pihak terkait lainnya dalam setiap proyek pekerjaan tersebut," ujar Plt juru bicara KPK Ali Fikri, Kamis (28/10/2021).
Dalam perkara ini, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka. Mereka adalah, Dodi, Kadis PUPR Musi Banyuasin Herman Mayori, pejabat pembuat komitmen (PPK) Dinas PUPR Musi Banyuasin Eddi Umari, dan Direktur PT Selaras Simpati Nusantara Suhandy.
Sebagai penerima, Dodi, Herman, dan Eddi dijerat Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Baca Juga
Sementara itu, sebagai pemberi suap, Suhandy dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.