Bisnis.com, JAKARTA - Bagi sebagian pihak, terutama pengusaha, mungkin proses Permohonan Kewajiban Penundaan Utang atau PKPU merupakan momok yang harus dihindari karena dianggap bisa berujung pada kepailitan.
Dalam Rakerkornas ke-31 Apindo 2021, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menggulirkan program advokasi untuk mendorong amandemen UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UUKPKPU) untuk menyelamatkan pelaku usaha agar tidak dipailitkan dalam masa pandemi.
Menurutnya, saat ini banyak pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan celah beleid tersebut untuk tujuan yang tidak baik.
"Apindo akan mengusulkan moratorium dapat berjalan sepanjang tiga tahun. Kami akan gelar FGD [focus group discussion] dan usulkan ada Perpu [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang] yang khusus mengatur hal ini," katanya, Selasa (24/8/2021).
Menilik data SIPP Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sepanjang tahun ini, setidaknya hingga 25 Agustus 2021, terdapat 366 permohonan PKPU dan Kepailitan yang didaftarkan melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Bagi mereka yang belum familier dengan istilah PKPU, atau yang memiliki kata lain restrukturisasi utang ini, menganggapnya sebagai momok dalam dunia usaha. Apabila salah langkah dalam menjalani prosesnya, konsekuensi terburuk adalah kepailitan.
Namun, yang belum banyak diketahui, prinsip utama dari PKPU sebenarnya adalah perdamaian. Debitur yang sudah tidak bisa menyelesaikan utang jatuh waktu bisa melakukan restrukturisasi melalui jalur yang legal untuk mencapai kesepakatan dengan para krediturnya.
Bagi James Purba, mantan Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) periode 2013-2019, maraknya kasus PKPU di Pengadilan Niaga sebenarnya tidak harus di pandang negatif.
"Apa yang yang salah dengan itu? Justru kondisi utang utang debitur yang sudah macet pemayarannya memerlukan restrukturisasi," katanya, Rabu (25/8/2021).
Ilustrasi hukum.
Dia menjelaskan PKPU adalah masa negosiasi atau restrukturisasi utang secara massal melalui Pengadilan Niaga yang di fasilitasi oleh Pengurus PKPU dan Hakim Pengawas. Restrukturisasi utang di dalam proses PKPU ini melibatkan semua kreditur dan jika berhasil mencapai perdamaian sesuai syarat dalam UUKPKPU maka Perdamaian tersebut akan disahkan oleh pengadilan dan mengikat terhadap semua kreditur, baik yang hadir maupun tidak.
James mempertanyakan cara restrukturisasi yang efektif dan efisien apabila moratorium permohonan PKPU terealisasi. Model restrukturisasi bilateral antara debitur dan kreditur justru bakal memakan waktu yang sangat lama untuk negosiasi hingga tercapainya kesepakatan.
Hal ini dinilai bisa menghambat aktivitas usaha debitur karena harus melakukan negosiasi dengan banyak kreditur selama bertahun-tahun. Sementara, dalam UUKPKPU diatur masa negosiasi maksimal adalah 270 hari.
Dia berpendapat posisi debitur menjadi diuntungkan. Alasannya, pertama, selama masa negosiasi dalam PKPU debitur tidak dapat dipaksa atau tidak perlu membayar utang (Pasal 242 UUKPKPU), termasuk tidak boleh ada tindakan eksekusi terhadap aset debitur.
Kedua, dalam proposal restrukturisasi (Proposal Perdamaian) pihak debitur dapat meminta waktu jeda (grace period) tertentu, meminta diskon utang, dan menunda pembayaran dalam beberapa tahun ke depan. Ketiga, tentu debitur dapat membayar secara mencicil sesuai kemampuan.
Hal senada juga disampaikan oleh Nien Rafles Siregar, Managing pada Siregar Setiawan Manalu Partnership, yang juga merupakan praktisi PKPU dan Kepailitan.
Menurutnya, pemerintah perlu sangat berhati-hati dan mempelajari usulan moratorium Kepalitan dan PKPU dengan mendegarkan seluruh stakeholder termasuk ahli hukum dan perbankan, termasuk membaca data kepailitan atau PKPU.
Ilustrasi sidang di Pengadilan Niaga/Bisnis-/Deliana Pradhita Sari
Moratorium itu, ujarnya, hanya berisiko menambah angka kredit macet karena pilihan hukum untuk pemulihan yang terbatas dan tidak efektif. Jangan sampai moratorium ini dijadikan sarana berlindung untuk debitur yang beriktikad buruk guna menghindari kewajibannya ke perbankan.
Rafles menilai pada umumnya bank menempatkan upaya hukum litigasi melalui PKPU atau Kepailitan sebagai jalan terakhir setelah tidak ada lagi harapan bagi debitur untuk melakukan restrukturisasi bilateral.
Selain itu, tidak semua kredit macet terjadi karena pandemi Covid-19. Bisa jadi macet karena bisnis debitur sendiri sudah sunset dan tidak efisien.
Dorongan untuk melakukan amandemen pada UUKPKPU juga disampaikan Rizky Dwinanto, praktisi hukum dari Dwinanto Strategic Legal Consultan (DSLC).
Usulan yang bisa dipertimbangkan adalah pertama, pengajuan PKPU dijadikan hak dari debitur. Hal ini didorong dari penalaran bahwa yang mengetahui apakah perusahaan tersebut layak dilakukan restrukturisasi adalah debitur itu sendiri.
Kedua, memperdalam syarat putusan PKPU dan Kepailitan, misalnya ada klausul yang menyatakan utang jatuh tempo lebih dari 1 tahun. Selain itu, perlu juga dikaji mengenai batasan nilai minimal nominal dari permohonan tersebut.
Ketiga, adanya batasan terhadap imbalan jasa Kurator dan Pengurus PKPU. Misalnya didasarkan pada perhitungan per jam dengan catatan timesheet sehingga wajar dan adil sesuai dengan aktivitas atau pekerjaan yang dilakukannya.
Keempat, perlu didorong standardisasi dalam suatu proposal perdamaian sehingga hal ini memberikan gambaran akan keseriusan debitur untuk keberlangsungan usahannya serta menimbulkan keyakinan akan pembayaran utang-utangnya kepada kreditur.
Pemerintah perlu bertindak secara bijaksana saat hendak melakukan moratorium UUKPKPU agar tidak menimbulkan langkah mundur bagi perkembangan hukum dan juga perekonomian Indonesia.