Bisnis.com, PONTIANAK - Di saat pemerintah mewacanakan pembukaan sekolah di Zona Kuning, muncul kabar siswa dan guru tertular Covid-19.
Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Barat Harisson mengatakan sampai Senin ada 14 siswa dan delapan guru yang dikonfirmasi tertular Covid-19 di Kalimantan Barat.
"Dari 604 orang guru dan siswa yang kita tes swab, terdapat delapan orang guru dan 14 orang murid yang terkonfirmasi positif Covid-19 sehingga total guru dan siswa yang terkonfirmasi positif Covid-19 sebanyak 22 orang," kata Harisson di Pontianak, Senin (10/8/2020).
Harisson menjelaskan, penularan Covid-19 antara lain terjadi di SMA 1 Ketapang, SMA 1 Ngabang, SMA 1 Pontianak, SMPN 1 Pontianak, serta SMAN 2 dan SMAN 3.
"Untuk Sambas di tingkat SMP ada tiga orang murid terkonfirmasi Covid-19," katanya.
Melalui akun media sosialnya, Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji mengatakan pemerintah kembali menangguhkan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah karena ada siswa dan guru yang tertular Covid-19.
Baca Juga
"Saya mohon maaf kepada masyarakat Kalbar karena kita kembali menunda tatap muka di sekolah sampai dipastikan tak ada guru dan murid yang positif," katanya.
Gubernur meminta seluruh daerah melanjutkan kegiatan pemeriksaan Covid-19 untuk memetakan daerah-daerah yang harus meningkatkan kewaspadaan.
Menurut data pemerintah provinsi, jumlah akumulatif pasien Covid-19 di Kalimantan Barat sebanyak 416 orang, 380 orang di antaranya sudah sembuh dan empat orang lainnya meninggal dunia.
Kebijakan Kemendikbud
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memutuskan untuk membuka kembali kegiatan pembelajaran tatap muka bagi seluruh sekolah yang berada di zona kuning Covid-19.
Langkah itu diambil setelah pemerintah pusat mengadakan riset ihwal dampak Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara berkepanjangan bagi peserta didik.
“Efek dari Pembelajaran Jarak Jauh ini secara berkepanjangan bisa sangat negatif dan permanen [bagi peserta didik],” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim melalui keterangan virtual, Jumat (7/8/2020).
Nadiem, yang akrab disapa Mas Menteri, menerangkan terdapat tiga dampak negatif yang diterima siswa apabila PJJ berlangsung dalam waktu lama.
Pertama, menurut Nadiem, ialah ancaman putus sekolah bagi peserta didik ketika PJJ tidak optimal diterapkan dalam menunjang proses pembelajaran.
“Kemungkinan beberapa persepsi orang tua berubah mengenai peran sekolah, proses belajar yang tidak optimal sehingga ancaman putus sekolah ini sesuatu yang riil bisa berdampak seumur hidup bagi anak-anak kita,” ujarnya.
Kedua, dia mengatakan, PJJ itu tidak optimal dari sisi pencapaian pelajar. Dia beralasan masih ada kesenjangan kualitas dari segi akses teknologi di tengah masyarakat.
“Kita punya risiko generasi dengan learning loss atau loss generation di mana akan ada dampak permanen bagi generasi kita terutama dari jenjang yang muda,” kata dia.
Selain itu, dia menggarisbawahi, bakal adanya risiko psikososial ketika peserta didik menempuh PJJ dalam waktu yang panjang di rumah.
“Tidak bisa ketemu temannya jadi dampak melakukan PJJ ini riil,” ujarnya.
Kebijakan Paradoks
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) khawatir pembukaan sekolah tatap muka di kawasan zona kuning Covid-19 dapat memunculkan risiko klaster baru di sekolah.
Wakil Sekjen FSGI Satriwan Salim mengatakan bahwa ini merupakan potret kebijakan pendidikan yang paradoks.
“Ketika angka penyebaran Covid-19 di Indonesia makin tinggi, kebijakan pendidikan membuka sekolah malah makin longgar. Satu bulan lalu sekolah hanya boleh dibuka di zona hijau, itu pun secara bertahap. Tapi sekarang justru di zona kuning pun diperbolehkan,” kata Satriwan, Senin (10/8/2020).
Satriwan membenarkan bahwa pelaksanaan PJJ memang banyak kendala, baik dari guru, orang tua, dan anak muridnya sendiri. Beberapa kendala di antaranya adalah kendala teknis seperti jaringan internet dan ketidaktersediaan gawai. Kendala tersebut persis sama terjadi di beberapa daerah.
Orang tua juga saat ini sudah tak bisa optimal mendampingi anak selama PJJ, apalagi bagi yang sudah harus kembali bekerja di kantor.
Belum lagi penugasan bagi siswa dari guru menumpuk, dan ada beberapa wilayah seperti Bengkulu, Kalimantan Timur, dan Kabupaten Malang yang kepala sekolahnya belum merealokasi Dana BOS untuk subsidi kuota internet siswa dan guru.
Bagi FSGI, seharusnya pemerintah pusat dan daerah lebih dulu membenahi persoalan PJJ itu semua. Koordinasi dan komunikasi yang intens dan solutif lintas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah harusnya menjadi kunci.
“Tidak optimalnya pusat dan daerah menyelesaikan pelayanan terhadap proses PJJ yang sudah 2 fase ini, harusnya bukan menjadi alasan sekolah di zona kuning dibuka kembali sebab risiko nyawa dan kesehatan anak, guru, dan orang tua lebih besar ketimbang tertinggal dan tak optimalnya layanan pendidikan bagi anak selama PJJ,” tegasnya.
Menurut Satriwan, hak hidup dan hak sehat bagi anak, guru, tenaga kependidikan, dan orang tua adalah hal utama.