Bisnis,com, JAKARTA - Perombakan kabinet atau reshuffle dibutuhkan apabila Presiden Joko Widodo menginginkan untuk memberikan legacy dalam kepemimpinannya.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan reshuffle kabinet memang harus dilakukan untuk menghasilkan kebijakan atau solusi yang lebih baik, apalagi dalam menghadapi pandemi covid-19.
Menurutnya, reshuffle juga bertujuan untuk mencegah terjadinya "kutukan" periode keduanya dalam menjabat sebagai presiden. Pasalnya, kondisi pemerintah Indonesia serupa dengan Amerika Serikat.
Kutukan periode kedua yang dimaksud Burhanudin adalah tendensi kinerja pemerintahan Jokowi periode 2019-2024 akan lebih buruk dibanding periode pertama. Karena kinerja buruk, akhirnya tidak ada legacy yang ditinggalkan.
"Di AS ada 11 presiden yang terpilih berturut-berturut dan dari jumlah itu hanya ada 3 yang kinerjanya lebih baik dari di periode pertama," kata Burhanuddin dalam diskusi Jenggala Center Reshuffle Atau...?, Rabu (5/8/2020).
Dia mengatakan hal tersebut terjadi lantaran ketiadaan insentif elektoral di periode ketiga, mereka mereka bekerja enak-enak saja. "Jadi pemilu itu memberikan insentif agar pejabat publik bekerja lebih baik. Makanya 8 dari 11 itu performingnya lebih rendah," lanjutnya.
Baca Juga
Untuk itu, menurutnya Presiden Jokowi dapat belajar dari pengalaman AS. Agar dapat terhindar dari kutukan periode 2, Jokowi juga perlu melalakukan kebijakan tidak populer tapi penting.
"Lalu kabinetnya harus bekerja sesuai bayangan dia, jangan santai-santai saja," ujarnya.
Apalagi, lanjut Burhanudin, akan banyak kepentingan yang bermunculan di akhir periodenya. Terlebih dengan para menteri yang punya latar belakang partai politik, sehingga saat ini perlu untuk diatasi, termasuk dengan cara reshuffle.
"Kalau approval Jokowi turun, itu partai-partai akan lari. Menteri-menteri akan sibuk dengan kesibukan di 2024. Jangan lupa partai pendukung Pak Jokowi juga ingin dicap sebagai pendukung yang approvalnya tinggi," jelasnya.