Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo dinilai masih akan memprioritaskan perubahan tim ekonomi apabila melakukan perombakan kabinet atau reshuffle.
Hal itu diungkapkan Angota DPR Fraksi Partai Golongan Karya Agun Gunandjar. Dia menilai Jokowi akan melakukan kompromi politik dengan tujuan akhir ekonomi bisa stabil.
"Format penyusunan reshuffle yang akan datang Pak Jokowi tidak bisa geser dari masalah kompromi politik, stabilitas politik, yang tujuannya ujung-ujungnya soal ekonomi," jelasnya.
Kendati begitu, Agun mengingatkan, masalah lain di luar ekonomi seperti hukum, pendidikan, dan demokrasi tidak selamanya bisa dinomorduakan. Pasalnya, hal ini bisa menjadi bumerang tersendiri bagi Jokowi.
"Ini bisa jadi umpan balik yang memukul ekonomi saat ini. Bahkan kepercayaan publik bisa melorot. Kami katakan, masalah-masalah politik, demokrasi, harus dikedepankan," kata Agun.
Pada pidato kepresidenan saat dilantik, Jokowi menegaskan akan tampil lepas dan tanpa beban. Namun, tampil lepas yang dimaksud dinilai hanya secara elektoral karena tidak dapat mengikuti pemilihan presiden selanjutnya.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi mengatakan saat ini presiden hanya fokus pada visi dan misi sektor ekonomi. Lantaran merasa bebas secara elektoral, dia terkesan acuh dengan sektor diluar visi dan misi utamanya.
"Jokowi terlihat menomor duakan isu non ekonomi, atau hanya sebagai instrumen untuk meningkatkan ekonomi. Kalau berguna dia pakai kalau tidak dia biarkan saja," katanya sat di diskusi virtual Jenggala Center Rabu (5/8/2020).
Hal tersebut tentu saja mempengaruhi dalam penyusunan kabinet. Dia menilai, semua konsep atau agenda ekonomi sudah di tangan presiden , para menteri hanya menjalankannya.
"Akhirnya kabinet kita gabungan dari kabinet rame-rame," katanya.
Menurutnya, Jokowi merekrut kandidat dari Partai Gerindra misalnya, untuk menstabilkan dukungannya di parlemen. Jokowi paling tidak memiliki 80 persen kekuatan di DPR.
"Jokowi sudah menyiapkan kebijakan nonpopuler. Menterinya banyak dari partai, karena kalau kebijakan tidak populer ditolah DPR akan sulit, kalau pendukungnya ada yang tarik badan masih ada kekuatan di DPR dengan mengandalkan partai lain," katanya.