Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo sempat melontarkan ancaman reshuffle kabinet. Jokowi sempat marah didepan para menteri, dan menyebut kementerian tidak tahu prioritas dan tidak peka dalam situasi krisis di tengah pandemi covid-19.
Direktur Eksekutif Charta Politik Yunarto Wijaya menilai kemarahan presiden di depan menteri dapat dimaknai dalam 3 hal.
Pertama, pilihan moderat, artinya kemarahan Jokowi hanya ditujukan untuk mencambuk atau menampar menteri untuk bekerja lebih baik.
Makna kedua, sebut dia, adalah langkah Jokowi dengan sengaja mempublikasikan video kemarahan tersebut merupakan testing water. Langkah ini dilakukan untuk menaikan posisi tawar Jokowi baik untuk para menteri atau partai politik.
Ketiga, reshuffle sudah diputuskan. Namun, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk diumumkan karena masih ada kendala.
"Jika reshuffle kabinet dilakukan sekarang, kemungkinan ada beberapa kesepakatan politik antara Jokowi dan parpol pendukungnya yang mungkin terganggu. Misalnya Omnibus Law yang bisa saja terganggu. Belum lagi kesempatan-kesempatan kecil seperti pilkada," tutur Yunarto dalam diskusi Jenggala Center Reshuffle Atau ...?, Rabu (5/8/2020).
Dalam melakukan reshuffle, lanjutnya, presiden biasanya menggunakan 3C yaitu capability, coalition, dan chemistry.
Baca Juga
"Jika memang benar nanti ada reshuffle kabinet, maka baik atau buruknya komposisi baru kabinet tergantung Jokowi. Jika salah langkah, bisa saja Jokowi justru tersandera karena melakukan reshuffle kabinet," jelasnya.
Dia mengatakan apabila kapabilitas masih menjadi faktor mayoritas, maka masih ada harapan susunan kabinet yang berkualitas dan dapat bekerja meskipun lebih banyak sumber daya dari partai politik.
"Kalau faktor koalisi yang dominan maka Presiden tersandera. Kalau faktor chemistry yang dominan maka Presiden akan otoriter dan cenderung akan mempertahankan menteri yang dia suka saja," lanjut Yunarto.
Dia menilai saat ini bola sudah berada di tangan Jokowi. Presiden seharusnya sudah memiliki penilaian. Namun, faktor partai ataupun non-partai bukan menjadi suatu ukuran.
"Bagaimana sikap subyektifitas keberanian Jokowi mengunakan hak presidensialnya , bagaimana logika yang dimilikinya bisa menang dengan logika dalam konteks partai," katanya