Bisnis.com, SAMARINDA - Politik dinasti memberi ruang bagi terjadinya tindak pidana korupsi. Hal itu terbukti dengan ditangkapnya Bupati Kutai Timur Ismunandar dan istrinya, yang menjabat Ketua DPRD Kutai Timur.
Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur menilai Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK di Kabupaten Kutai Timur menjadi bukti keterkaitan politik dinasti dan tindak pidana korupsi.
"Kejadian ini menandakan politik dinasti telah memberikan jalan yang lapang bagi perampokan keuangan negara," ujar Sekretaris SAKSI Fakultas Hukum Unmul Herdiansyah Hamzah.
Herdiansyah menambah bahwa politik dinasti telah melumpuhkan check and balances system antara Pemerintah dan DPRD, karena kendali pengawasan berada di tangan satu keluarga.
"Jadi mustahil akan ada kontrol yang kuat dan memadai di bawah kuasa politik dinasti," kata Herdiansyah, Sabtu (4/7/2020).
Dugaan korupsi dalam kasus ini ditengarai berhubungan erat dengan kepentingan Pilkada di Kutai Timur, yang akan digelar tahun 2020 ini.
Baca Juga
Menurut pria yang akrab disapa Castro itu, politik berbiaya tinggi (high cost politic) memang bukan satu-satunya faktor yang mendorong perilaku korup kepala daerah.
"Tapi biaya politik yang tinggi inilah, alasan yang memaksa para kandidat calon, khususnya petahana, untuk menghalalkan segala cara," jelas Castro.
Berdasarkan hasil kajian Litbang Kemendagri, untuk menjadi Wali Kota/Bupati dibutuhkan biaya Rp20-30 miliar, sementara untuk menjadi Gubernur berkisar Rp20-100 miliar.
"Ongkos yang harus mereka keluarkan ini, tentu saja tidak sepadan dengan gaji yang bakal diterima oleh seorang kepala daerah," imbuh Castro.
Castro mengatakan kejadian OTT KPP ini pertanda masih kuatnya politik transaksional dalam proses pengadaan barang dan jasa.
"Ini semacam jatah preman atau upeti yang diberikan sebagai tiket untuk memenangkan tender barang dan jasa. Tradisi macam ini jelas akan melanggengkan tindakan korup dalam pengadaan barang dan jasa," ujar Castro.
Kepala daerah, lanjut Castro, cenderung menggunakan pengaruhnya (trading in influence) untuk mengatur lalu lintas pemenang tender barang dan jasa. "Demi mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya," ujar Castro.
Castro berpendapat keterlibatan tiga unsur Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam kasus OTT ini, yakni Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), Badan Pengelola Keuangan Dan Aset Daerah (BPKAD), dan Dinas Pekerjaan Umum (PU), menandakan OPD-OPD telah menjadi sapi perah kepala daerah.
OPD, ujar Castro, hanya dijadikan bancakan untuk memperkaya pundi-pundi modal politik penguasa daerah menjelang Pilkada.
"Tentu saja ada proses tawar menawar atau transaksi saling menguntungkan di antara keduanya, termasuk dalam proses seleksi atau keterpilihan kepala-kepala OPD tersebut. Hal ini tentu saja merusak desain merit system management lembaga pemerintahan kita, sebab telah terjadi spoil system yang memberikan dampak merugikan terhadap kualitas layanan publik," jelas Castro.
Lembaga antirasuah telah menetapkan Bupati Kutai Timur dan Istrinya yang juga menjabat sebagai Ketua DPRD Kutai Timur, beserta tiga orang Kepala OPD dan pihak swasta, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa.