Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Alasan PDIP Alihkan Suara Nazaruddin Kiemas ke Harus Masiku

Hasto antara lain menjelaskan alasan partainya memberikan suara Nazarudin Kiemas yang mendapat suara terbanyak di daerah pemilihan Sumatra Selatan I kepada Harun Masiku.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA - Sidang kasus suap terhadap mantan komisioner KPU digelar Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/4/2020) melalui video confence.

Dalam persidangan, Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto memberi keterangan sebagai saksi.

Hasto antara lain menjelaskan alasan partainya memberikan suara Nazarudin Kiemas yang mendapat suara terbanyak di daerah pemilihan Sumatra Selatan I kepada Harun Masiku.

"Setelah partai mendapat legalitas dari putusan Mahkamah Agung, dalam rapat itu kami melihat pelimpahan suara dari Bapak Nazarudin Kiemas ke Harun Masiku mempertimbangkan bahwa yang bersangkutan punya latar belakang profesi yang dibutuhkan oleh partai yaitu lulusan 'internasional ekonomic law' dan dapat beasiswa dari Inggris dan dalam rekam jejak yang bersangkutan pada tahun 2000 ada dalam kongres pertama juga terlibat dalam penyusunan AD/ART partai," kata Hasto yang memberikan keterangan dari kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P di Jakarta, Kamis.

Hasto memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan dengadn terdakwa Saeful Bahri yang berada di rumah tahanan (rutan) KPK di gedung KPK lama. Sementara itu jaksa penuntut umum (JPU) KPK, majelis hakim dan sebagian penasihat hukum berada di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Saeful Bahri yang juga kader PDIP didakwa bersama-sama Harun Masiku ikut menyuap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan sebesar Rp600 juta. Suap dimaksudkan agar Wahyu mengupayakan Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI daerah Sumatra Selatan I kepada Harun Masiku.

Dalam dakwaan disebutkan bahwa meski Nazaruddin Kiemas sudah meninggal dunia, ia tetap mendapat suara tertinggi di dapil Sumsel I yaitu 34.276 suara dalam pileg.

Pada Juli 2019 rapat pleno PDIP memutuskan Harun Masiku yang hanya mendapat suara 5.878 sebagai caleg pengganti terpilih yang menerima pelimpahan suara dari Nazaruddin Kiemas.

"Saat rapat pleno dilaporkan perolehan suara dari setiap caleg di dapil tersebut saya lupa berapa suara Harun Masiku tapi diputuskan itu," ungkap Hasto.

Atas keputusan partai tersebut, menurut Hasto, Harun siap melakukan tugas sebagai anggota DPR.

"Respons Harun siap menjalankan tugas sebagai petugas partai," ungkap Hasto.

Atas keputusan rapat pleno DPP PDIP tersebut, Hasto lalu meminta Donny Tri Istiqomah selaku penasihat hukum PDIP untuk mengajukan surat permohonan ke KPU RI. Namun KPU membalas surat DPP PDIP itu dengan menyatakan tidak dapat mengakomodir permohonan DPP PDIP karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

"Yang kami ingat saat itu ada perbedaan tafsir KPU dengan partai. KPU hanya berpendapat bahwa surat Nazarudin Kiemas diberikan kepada parpol tetapi tentang pelimpahannya itu menurut KPU tidak ada ketentuan hukumnya," tambah Hasto.

DPP PDIP juga meminta fatwa kepada Mahkamah Agung agar KPU bersedia melaksanakan permintaan DPP PDIP.

"Dalam surat yang kami kirmkan pada pertengahan September 2019 tentang permohonan fatwa, kami memang menegaskan untuk memberikan suara Nazaruddin Kiemas kepada Harun," ungkap Hasto.

Pada 13 September 2019 DPP PDIP mengirimkan surat perihal Permohonan Fatwa Terhadap Putusan MA-RI Nomor 57P/HUM/2019 19 Juli 2019. Permohonan ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Intinya DPP PDIP meminta fatwa kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia agar KPU RI bersedia melaksanakan permintaan DPP PDIP sebagaimana tercantum dalam amar putusan.

"Jadi fatwa MA itu menegaskan bahwa terhadap caleg terpilih yang berhalangan tetap sebagaimana konsideran hukum di dalam hukum putusan MA diserahkan ke parpol untuk diberikan kepada kader partai yang dari caleg di dapil tersebut yang dinilai terbaik," jelas Hasto.

Namun dalam surat fatwa itu tidak disebutkan siapa nama yang akan menduduki posisi sebagai anggota DPR.

"Kami menunjuk Donny sebagai pemegang kuasa dalam uji materi maka kami tugaskan yang bersangkutan untuk menjalankan putusan MA itu ke KPU, namun dalam perjalanannya KPU menolak dalam rapat pleno 30 Agustus 2019 karena KPU tidak mengindahkan putusan MA," ungkap Hasto.

Sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 9 Januari 2020, Harun hingga saat ini belum ditemukan dan sudah dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire
Editor : Saeno
Sumber : Antara
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper