Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi II DPR bersama dengan Menteri Dalam Negeri dan Komisi Pemilihan Umum telah menyepakati tanggal pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember 2020.
Menyikapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)Titi Anggraini menilai pilihan keputusan tersebut tetap memiliki risiko karena mengasumsikan bisa dijalankan dengan catatan atau sepanjang darurat wabah corona berakhir sesuai masa tanggap darurat yang diputuskan BNPB, yaitu sampai dengan 29 Mei 2020.
"Semestinya jadwal pilkada dipilih durasi waktu yang relatif lebih panjang sehingga bisa memadai dari sisi persiapan dan tidak berisiko terjadinya penundaan-penundaan kembali," kata," kata Titi saat dikonfirmasi Bisnis, Rabu (15/4/2020).
Dia menilai penundaan pilkada setelah 2021 adalah opsi yang relatif aman dan logis dari sisi waktu, jadwal, dan kesiapan para pemangku kepentingan.
Titi menambahkan keputusan untuk menunda pikada hingga 9 Desember 2020, dengan catatan masih menyesuaikan dengan masa penanganan darurat covid-19 adalah keputusan yang kurang efektif.
"Karena bisa membuat ketidakpastian hukum kembali terjadi dalam perjalanan implementasinya dan dapat berdampak KPU harus bekerja ekstra mengatur tahapan, program, dan jadwal pilkada di tengah ketidakpastian akibat COVID-19," jelasnya.
Adapun, salah satu yang perlu dipersiapkan oleh Kemendagri adalah Perpu sebagai legitimasi untuk penundaan pilkada.
"KPU harus memperoleh alas hukum yang setara undang-undang dan Perpu jadi pilihan paling mendesak yang diperlukan untuk melegitimasi penundaan pilkada," jelas Titi.
Titi mengatakan pemerintah perlu terbuka dan partisipatoris dalam melakukan penyusunan Perpu, agar materi muatan yang akan diatur Perpu dapat mencakup seluruh kebutuhan hukum bagi legalitas penyelenggaraan pilkada pascapenundaan.
Selain itu, terkait dengan penjabat bagi daerah yang mengalami kekosongan hukum kepala daerah apabila pilkada dilakukan pada Desember 2020, Titi menilai mayoritas daerah masih akan mengejar keterpilihan kepala daerah definitif sebelum masa akhir jabatan.
"Sebab mayoritas atau sebanyak 207 dari 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada, akhir jabatan kepala daerah adalah bulan Februari 2021," katanya.
Selain itu, KPU perlu proaktif dalam menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang memuat dampak atau konsekuensi penundaan pilkada secara komprehensif; pilihan-pilihan skenario dan simulasi jadwal pilkada yang baru; serta informasi menyeluruh soal implikasi teknis dari penundaan Pilkada 2020 yang akan dihadapi penyelenggara, peserta, maupun pemilih.
"DIM ini harus disusun dengan memperhatikan prinsip-prinsip pemilihan yang demokratis serta mengutamakan keselamatan dan perlindungan terhadap seluruh warga negara," jelasnya.
Langkah proaktif KPU ini juga harus diambil dengan tetap membuka ruang bagi publik dan pemangku kepentingan kepemiluan untuk bisa terlibat, berpartisipasi, dan memberikan masukan dalam penyusunan DIM maupun berbagai skenario jadwal dimaksud.
Selanjutnya, Perludem juga mendorong Perpu untuk mengatur perbaikan sistem penganggaran pelaksanaan Pilkada pascapenundaan, agar tidak lagi bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tetapi langsung dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Hal tersebut dimaksudkan demi proses pengajuan, persetujuan, pencairan, serta pertanggungjawaban yang lebih efektif dan akuntabel. Selain itu, pembiayaan pilkada dari APBN juga untuk menghindari terjadinya politisasi dalam proses penganggarannya yang bisa mengganggu kemandirian dan imparsialitas para penyelenggara pemilu.